Bisnis.com, JAKARTA - Tata kelola pertambangan rakyat akan menjadi perhatian utama pemerintah dalam Rancangan Undang-Undang Mineral dan Batubara (RUU Minerba) yang tengah dibahas bersama Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) RI.
Direktur Jenderal Minerba Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) Bambang Gatot Ariyono mengungkapkan semangat perbaikan kondisi pertambangan rakyat ditempuh guna memperkuat posisi pertambangan rakyat layaknya kegiatan pertambangan yang mendapatkan Izin Usaha Pertambangan, pemegang Kontrak Karya, maupun Perjanjian Karya Pengusahaan Pertambangan Batubara (PKP2B).
"Selama ini pertambangan rakyat itu dalam ukuran kecil, termarjinalkan. Kami berusaha bagaimana meningkatkan bargaining position daripada pertambangan rakyat," ujarnya dalam siaran pers, Kamis (30/4/2020).
Pada RUU Minerba tersebut, lanjutnya, kriteria Wilayah Pertambangan Rakyat (WPR) akan diperluas dari sebelumnya 25 hektar menjadi 100 hektar. Begitu pun tambang cadangan primer mineral logam akan diatur kedalaman maksimal 100 meter, sedangkan pada aturan sebelumnya kedalaman maksimal hanya 25 meter.
"Ini dalam rangka memberikan rakyat lebih leluasa lagi melakukan kegiatan pertambangan," kata Bambang.
Dengan adanya kegiatan pertambangan rakyat yang lebih jelas, Pemerintah mengharapkan akan memberikan sumbangsih baru dalam struktur pendapatan daerah berupa pajak dan/atau retribusi.
Baca Juga
Lebih lanjut, penggunaan pendapatan daerah tersebut nantinya akan diperuntukkan untuk pengelolaan tambang rakyat sesuai dengan ketentuan peratutan perundang-undangan.
"Pemerintah akan terus memperkuat posisi rakyat supaya lebih eksis lagi dengan memberikan kriteria-kriteria (kegiatan pertambangan). Kita mencari keseimbangan sesuai dengan ketentuan UUD Pasal 33," ucap Bambang.
Mengantisipasi sejumlah penyalahgunaan kegiatan pertambangan yang tidak sesuai dengan kaidah aktivitas pertambangan, Pemerintah menyiapkan sejumlah ketentuan ketat atas penggunaan bahan peledak maupun alat berat agar tidak berdampak pada kerusakan lingkungan, misalnya penambangan di sisir sungai.
"Kita harus bedakan rakyat mana. Kalau rakyat mampu, mereka nggak ada WPR (wilayah pertambangan rakyat), mereka harus punya izin tambang. Kalau sudah pakai alat berat, ya bukan rakyat, bukan di WPR Rakyat kan ada keterbatasan modal teknologi gitu. Makanya penyiapannya oleh Pemda dari lahan, eksplorasi sampai studi lingkungan itu harus ketat," katanya.
Ada juga soal celah penambang ilegal, Bambang memastikan bahwa WPR dikelola oleh kelompok-kelompok kecil, bahkan BumDes sehingga tidak bisa begitu saja dieksploitasi penambang ilegal.
"Jadi WPR itu diusulkan oleh Pemda, ditetapkan oleh Menteri. Saat ditetapkan, sebelum menentukan IPR, dokumennya harus lengkap. Jadi WPR itu nggak bisa begitu saja diajukan lalu langsung diterima," tutur Bambang.
Pemerintah menekankan penegakan hukum yang benar-benar ketat untuk membasmi dan mencegah tingkah oknum yang lain dalam memanfaatkan pertambangan rakyat. "Makanya, law enforcement ini harus benar-benar dilakukan agar seluruh aturan itu bisa dipatuhi," katanya.
Pada RUU tersebut, pemerintah juga mengusulkan adanya inventarisasi sumber daya alam di seluruh wilayah Indonesia. Pasalnya, selama ini Indonesia selalu terkendala pada tata ruang pertambangan. "Jadi kami mengusulkan suatu bentuk baru pada wilayah hukum usaha pertambangan," ucapnya.
Sebagai informasi, penyusunan RUU Minerba sebagai penyempurnaan regulasi Undang-Undang Nomor 4 Tahun 2009 tentang Pertambangan Mineral dan Batu Bara merupakan hasil inisiatif DPR RI sejak tahun 2015 dan setiap tahun masuk program legeslasi nasional (prolegnas) prioritas. "Prosesnya sudah cukup panjang," terang Bambang.
Sepanjang tahun 2018 hingga 2020, Kementerian ESDM telah melakukan konsultasi publik RUU Minerba di sejumlah kota di Indonesia, seperti Jakarta, Palembang, Balikpapan, Makassar, Medan, Yogyakarta dengan melibatkan Pemerintah Daerah, Perguruan Tinggi, Masyarakat Sipil hingga Organisasi pengamat/profesi pertambangan.