Bisnis.com, JAKARTA — Kalangan pekerja berharap penundaan pembahasan RUU Cipta Kerja klaster ketenagakerjaan dapat dijadikan momentum bagi pemerintah untuk menyempurnakan pasal-pasal bermasalah dalam omnibus law, dengan melibatkan seluruh elemen pemangku kepentingan.
Sekjen Organisasi Pekerja Seluruh Indonesia (OPSI) Timboel Siregar berpendapat keputusan penundaan pembahasan klaster ketenagakerjaan RUU Cipta Kerja tersebut sudah baik untuk mencegah aksi demonstrasi buruh besar-besaran pada 30 April 2020.
“Jadi, pemerintah sudah siap menunda pembahasan klaster ketenagakerjaan RUU Ciptaker selagi pandemi Covid-19. Namun demikian, persoalannya kan bukan sekadar penundaan. Sebenarnya kan tuntutan pekerja adalah bagaimana RUU Ciptaker yang membahas soal klaster ketenagakerjaan juga bisa dibahas sebelumnya dengan melibatkan para pekerja,” tegasnya, Minggu (26/4/2020).
Dengan demikian, Timboel mendorong agar pemerintah menindaklanjuti penundaan tersebut dengan menarik kembali draf RUU Ciptaker dari DPR untuk dibahas di tim khusus yang sudah dibentuk oleh Menko Bidang Perekonomian.
Artinya, sebut Timboel, draf RUU Ciptaker bisa disempurnakan oleh tim bentukan Menko Perekonomian (yang terdiri dari perwakilan pekerja, pengusaha, dan pemerintah) agar tujuan tiap pasalnya bisa dielaborasi sesuai masukan dari para pemangku kepantingan serta masyarakat.
“Jika [drafnya] sudah digodok [ulang] dan ada titik temu, lalu disampaikan [lagi] ke DPR nantinya, itu akan memudahkan DPR dalam proses pembahasan RUU Ciptaker. Jadi, penundaan ini tidak hanya sekadar karena menunggu Covid-19 reda, tetapi harus dimaknai sebagai proses untuk membahas kembali RUU Cipta Kerja, supaya pasal-pasal di klaster ketenagakerjaan lebih berkualitas.”
Baca Juga
Lebih lanjut, Timboel berpendapat seandainya pembahasan RUU Ciptaker dipaksakan untuk terus berlanjut dan dipercepat finalisasinya dalam 3 bulan, implikasinya terhadap perekonomian tidak akan signifikan.
Pasalnya, ratifikasi RUU Cipta Kerja sekalipun tidak akan serta merta membuat para investor domestik dan asing membuka lapangan kerja. Alhasil, tujuan dari RUU Ciptaker untuk pembukaan lapangan kerja pun akan kontraproduktif.
“Bagaimana mereka mau investasi di tengah ketidakpastian? IMF saja memperkirakan krisis ekonomi akibat pandemi ini mungkin baru bisa dipulihkan pada 2021. Artinya, RUU Ciptaker untuk saat ini dampaknya ke percepatan pemulihan juga tidak bisa dipastikan.”
Menurutnya, pertumbuhan angkatan kerja di Indonesia per tahun adalah sekitar 2,5 juta-3 juta orang, sedangkan angka rekrutmen hanya sekitar 2 juta orang per tahun. Adanya RUU Ciptaker diharapkan dapat memangkas proses birokrasi, perizinan dan investasi untuk memacu pembukaan lapangan kerja.
“Dengan adanya RUU Ciptaker, ditargetkan pembukaan lapangan kerja bisa mencapai 2,6 juta-3 juta per tahun. Artinya, omnibus law ini memang akan bisa mengakomodasi pertumbuhan angkatan kerja supaya tidak defisit. Namun, semangat baik ini harusnya didukung seluruh masyarakat dengan lebih mengedepankan dialog sosial atau komunikasi yang bisa menghasilkan pasal-pasal yang berkualitas, supaya nanti tidak lagi memiocu perdebatan di DPR.”
Belum lagi, lanjutnya, jika RUU Ciptaker hanya sekadar ditunda tanpa ada upaya penyempurnaan pasal-pasalnya, maka besar kemungkinan beleid tersebut akan diajukan untuk judicial review di Mahkamah Konstitusi setelah diratifikasi.
“Jika MK menerima sehingga proses pembuatannya dibatalkan pasal per pasal, berarti tidak tercapai apa yang diharapkan pemerintah melalui omnibus law, yaitu pembukaan lapangan kerja secara riil,” kata Timboel.
Di sisi lain, khusus untuk klaster ketenagakerjaan, Timboel berharap agar pemerintah mempertimbangkan untuk mencabutnya dari RUU Ciptaker. Pasalnya, dia berpendapat perbaikan aspek ketenagakerjaan cukup dilakukan melalui revisi UU No.13/2003 tentang Ketenagakerjaan tanpa harus memasukkannya ke dalam rancangan omnibus law.