Bisnis.com, JAKARTA - Asosiasi Vaper Indonesia (AVI) menyebut pengguna produk hasil pengolahan tembakau lainnya (HPTL) sudah menembus dua juta jiwa. Regulasi untuk mengatur perlindungan konsumen produk tersebut belum dihadirkan.
Ketua AVI Johan Sumantri mengatakan pengguna produk HPTL di Indonesia sudah lebih dari dua juta jiwa. Selain dari sisi konsumen, mayoritas pelaku industri HPTL merupakan pelaku Usaha Mikro, Kecil, dan Menengah (UMKM).
Menurutnya, sejauh ini regulasi produk maupun industri HPTL yang berlaku hanya Peraturan Menteri Keuangan 156/2018 yang mengatur tentang penetapan tarif cukai.
“Regulasi yang ada sekarang ini hanya fokus kepada penerimaan negara. Padahal yang lebih penting harusnya ada aturan yang melindungi konsumen, pelaku usaha UMKM, dan masyarakat umum," katnaya dalam keterangan tertulis, Selasa (21/4/2020).
Johan menjelaskan, adanya regulasi memberikan keamanan dan kenyamanan bagi konsumen. Sebab, konsumen memiliki hak untuk akses informasi yang akurat dari produk yang dikonsumsi, seperti halnya HPTL yang berdasarkan kajian ilmiah memiliki risiko yang lebih rendah daripada rokok.
Adanya aturan perlindungan konsumen, akan meminimalisir produk HPTL diakses oleh non-perokok dan anak-anak di bawah usia 18 tahun. Selain itu, regulasi juga turut mencegah peredaran produk ilegal di pasaran, sehingga produk tersebut dapat dimanfaatkan sesuai dengan peruntukannya yaitu membantu perokok dewasa yang tidak berhenti merokok mendapatkan alternatif yang lebih baik.
“Kami pun siap memberikan informasi yang dibutuhkan bagi pemerintah dan dilibatkan dalam penyusunan regulasi industri HPTL," katanya.
Sementara itu, Direktur Kajian dan Riset Pusat Studi Konstitusi dan Legislasi Nasional (Poskolegnas) Fakultas Syariah dan Hukum UIN Syarif
Hidayatullah Jakarta Fathudin menyarankan pemerintah terlebih dahulu menghadirkan kajian ilmiah di dalam negeri. Dengan begitu, hasil kajian tersebut dapat menjadi landasan dalam pembuatan regulasi.
“Dalam penyusunan regulasi industri HPTL, penting sekali untuk semua pihak membuka pikiran dan berdiskusi antar pelaku kepentingan. Kajian ilmiah juga harus menjadi basis penyusunan regulasi agar regulasi yang dihasilkan komprehensif dan memberikan manfaat bagi semua pihak,” kata Fathudin.