Bisnis.com, JAKARTA — Efektivitas dari pelatihan yang diberikan dalam kartu prakerja dipertanyakan oleh serikat pekerja mengingat besarnya tekanan akibat pandemi Covid-19.
Sekretaris Jenderal Organisasi Pekerja Seluruh Indonesia (OPSI) Timboel Siregar mengatakan saat ini proses pendataan calon penerima kartu prakerja memang masih berlangsung. Menurutnya, setelah pembukaan yang dilakukan Sabtu malam (11/4/2020), pemerintah harus segera melakukan sosialisasi dan pendataan.
“Jadi belum bisa disebut efektif atau tidak karena belum dilaksanakan. Saya berharap korban PHK Februari dan Maret segera dibantu karena mereka sudah terlebih dahulu kesulitan ekonominya,” kata Timboel, Minggu (12/4/2020).
Timboel mengatakan langkah pemerintah memberikan pelatihan dalam kartu prakerja untuk saat ini dinilai kurang tepat karena korban PHK yang dibutuhkan adalah bantuan langsung tunai.
“Saya kira kalau harus didahului pelatihan itu tidak efektif untuk bisa dirasakan oleh pekerja yang ter-PHK yang sudah mencapai 1.2 juta orang. Kan waktu itu pemerintah bilang akan dialihkan dari pelatihan ke bantuan. Pekerja yang ter PHK butuh bantuan bukan pelatihan, pelatihan penting tapi nanti aja. Ini bicara prioritas hidup.”
Timboel mengatakan Pusat Statistik (BPS) mencatat rata-rata pengeluaran masyarakat Indonesia dalam memenuhi kebutuhan hidupnya atau purchasing power parity sebesar Rp11,3 juta per tahun pada 2019.
Baca Juga
Menurutnya, bila mengacu rata-rata pengeluaran per kapita masyarakat Indonesia di tahun 2019 yaitu sebesar Rp11,3 juta per tahun atau sekitar Rp941.666 per bulan maka bantuan Rp600.000 per bulan (tidak termasuk keluarga lainnya) tentunya tidak cukup memadai.
“Harga kebutuhan pokok seperti pangan, lalu kebutuhan papan yaitu kontrakan rumah atau kost, itu saja sudah cukup besar biayanya. Jadi kalau ditanya cukup maka kemungkinan tidak cukup. Rp600.000 per bulan kan artinya Rp20.000 per hari. Untuk makan seorang yaitu dua kali saja gak cukup, apalagi satu keluarga,”
Jadi, imbuhnya, seharusnya kartu prakerja ini pun harus memperhatikan status orang tersebut. Kalau yang masih lajang maka nilai bantuannya lebih rendah dari yang sudah berkeluarga.
Ekonom INDEF Bhima Yudhistira menilai biaya pelatihan senilai Rp1 juta per orang merupakan pemborosan APBN. Menurutnya, sebaiknya program prakerja dirombak total karena yang dibutuhkan oleh korban PHK adalah bantuan langsung tunai, untuk penuhi kebutuhan pokok dan membayar cicilan kredit.
Sedangkan model pelatihan online kurang tepat disaat wabah Covid-19, apalagi saat ini bukan waktunya untk meningkatkan skill.
“Apalagi tidak ada jaminan setelah ikut program 5.6 juta orang akan langsung terserap kerja. Industri mana yang siap menampung 5,6 juta orang? Konsep kartu pra kerja itu kan ada saat kondisi normal, untuk tingkatkan skill. Tapi dalam kondisi darurat kurang tepat. Jadi efektivitasnya kecil,” kata Bhima.
Menurutnya, selain bantuan langsung tunai, yang perlu diberikan pemerintah adalah pembagian sembako yang langsung diterima masyarakat.
“Solusi lain memang pembagian sembako bagi masyarakat rentan miskin. Bukan cuma penerima dibawah garis kemiskinan. Sekarang uangnya cash transfer tapi banyak warung tutup. Kan repot juga.”
Adapun sebelumnya, untuk bantalan sosial bagi masyarakat, Ketua Umum Asosiasi Pengusaha Indonesia (Apindo) Hariyadi Sukamdani pernah mengusulkan agar porsi dana untuk pelatihan sebesar Rp1 juta diubah menjadi cash yang langsung diberikan ke korban PHK. Sehingga manfaatnya bisa dirasakan langsung oleh penerimanya.
Di sisi lain, dia juga mengusulkan agar korban PHK bisa mendapatkan keringanan untuk mencairkan dana JHTnya, terutama untuk yang kepesertaannya di bawah 10 tahun.