Bisnis.com, JAKARTA - Himpunan Pengusaha Muda Indonesia meminta pemerintah untuk mengatur dan mengelola tata niaga nikel yang berkeadilan.
Ketua Umum Himpunan Pengusaha Muda Indonesia (HIPMI) Mardani H. Maming mengatakan Indonesia memiliki cadangan nikel terbesar di dunia yakni sebesar 27 persen.
Larangan ekspor nikel yang diberlakukan sejak 1 Januari 2020 ini berdampak pada tata niaga nikel dari komoditas yang dapat diperdagangkan lintas negara menjadi komoditas yang hanya boleh diperdagangkan domestik.
"Larangan itu membuat nikel yang berkadar 1,7 persen ke bawah tak bisa lagi diekspor. Para penambang kebingungan mau dibawa kemana nikel ore berkadar 1,7 persen ini. Ini karena smelter nikel di Indonesia hanya menerima kadar nikel sebesar 1,8 persen," ujarnya dalam diskusi Prospek Industri Nikel Dalam Negeri, Jumat (27/2/2020).
Nikel berkadar 1,8 persen ini, lanjutnya, berada di ujung tanduk karena belum ada kepastian harga patokan mineral yang diterima smelter yang diatur regulasinya apabila tak sesuai dengan Harga Patokan Mineral (HPM) maka akan mendapatkan sanksi.
"Hal inilah yang diharapkan dari pemerintah untuk dapat segera merumuskan harga patokan nikel," katanya.
Baca Juga
Hipmi, APNI (Asosiasi Penambang Nikel Indonesia), dan Apindo mendesak pemerintah menerbitkan aturan yang melindungi penambang dengan HPM yang memperhatikan biaya produksi dan juga harga acuan internasional.
"Pemerintah hadir jalan tengah caranya diatur HPM dipatok agar tak merugikan penambang dan smelter. Apalagi keadaan sekarang adanya dampak dari virus corona yang dampaknya luar biasa di negara-negara lain juga akan berpengaruh di Indoensia, dengan dampak ini dan nikel akan membuat susah rakyat di daerah," ujar Mardani.
Lebih lanjut, dia menyatakan pihaknya menyambut baik rencana pemerintah yang telah menyepakati HPM bijih nikel sebesar US$30 metrik ton free on board (FoB) tongkang.
Data dari 30 perusahaan tambang, diperoleh angka rerata Harga Patokan Produksi (HPP) bijih nikel sebesar US$20,34 metrik ton sehingga di pasar domestik bijih nikel kadar 1,8 persen dihargai US$20 metrik ton. Hal itu dinilai akan membuat para penambang menanggung kerugian dan belum lagi biaya lain yang timbul dari proses ini.
Harga internasional saat ini bijih nikel 1,8 persen FoB Filipina dihargai antara US$59 wett metrik ton (wmt) hingga US$61 wmt, sehingga jika pemerintah mengajukan harga jual bijih nikel domestik kadar 1,8 persen FoB sebesar US$38 wmt hingga US$40 wmt merupakan harga yang wajar.
"Kami tahu bersama setiap proses penambangan tak dapat dipastikan kadar ore yang diperoleh sehingga bila ore yang dapat memiliki kadar 1,7 persen, maka bisa dihitung berapa besar kerugian penambang. Maka tak heran, banyak penambang yang memilih menghentikan produksi," ucap Mardani.
Dia meminta agar nikel dengan kadar 1,7 persen ke bawah yang sebelumnya dieskpor dapat diserap dan diterima oleh smelter. Hal ini mengingat kadar ini yang menjadi standar ekspor kemarin dan saat ini telah ditutup pemerintah.
Selain itu, penentuan kadar nikel juga seringkali menjadi sumber perdebatan. Pelaku usaha berharap pemerintah dapat hadir dengan menentukan surveyor resmi dan profesional agar dapat menghasilkan keputusan yang tepat dan benar.
"Kami usulkan ada 2 surveyor baik yang digunakan penambang maupun pemilik smelter. Ini penting mereka juga nentukan apakah kena pinalti apa enggak, nikel kadar 1,8 persen ini kalau kurang kadarnya 0,1 saja kena pinalti US$7 per ton sehingga perlu ada surveyor yang adil. Selama ini surveyornya hanya dari smelter saja," ungkapnya.
Mardani menambahkan pemerintah diharapkan memberikan dukungan kemudahan berusaha seperti mempermudah regulasi izin smelter dan pemberian kemudahan dukungan pembiayaan perbankan kepada pengusaha dalam negeri agar menjadi tuan rumah di negeri sendiri.