Bisnis.com, JAKARTA - Himpunan Pengusaha Muda Indonesia (Hipmi) meminta agar Kementerian ESDM mewajibkan para pemilik smelter untuk menerima bijih nikel yang berkadar rendah yakni 1,7 persen ke bawah.
Untuk diketahui, larangan ekspor bijih nikel berkadar rendah telah diberlakukan pada 1 Januari 2020 membuat penambang nikel dalam negeri berada dalam kondisi mati suri.
Kondisi ini terjadi akibat rendahnya harga jual bijih nikel domestik, dimana jika penambang memaksakan untuk melakukan penambangan, harga yang ditawarkan relatif lebih murah dari harga produksi dan akan mematikan perusahaan.
Ketua Umum Badan Pengurus Pusat (BPP) HIPMI Mardani H Maming mengatakan Kementerian ESDM harus mewajibkan kepada smelter untuk menerima nikel berkadar 1,7 persen ke bawah. Selama ini, smelter hanya menerima nikel berkadar 1,8 persen ka atas.
"Kementerian ESDM mewajibkan barang penambang diterima oleh smelter lokal yang kadarnya 1,7 persen," ujarnya dalam siaran pers, Sabtu (15/2/2020).
Untuk saling menjaga kualitas barang, dia menyarankan penambang dan smelter boleh menunjuk masing-masing surveyor yang terdaftar di Kementerian ESDM agar kualitas barang mempunyai kepastian sehingga tidak merasa dicurangi satu sama lainnya
Baca Juga
Selain itu, pihaknya mendukung rencana mewajibkanharga pokok mineral (HPM) nikel di atas Free on Board (FoB) tongkang. Terlebih saat ini kementerian ESDM telah membuat regulasinya beserta sanksi yang mengikat.
“Kami mendukung dan mengapresiasi APNI (Asosiasi Penambang Nikel Indonesia) sehubungan dengan penentuan HPM nikel di atas FoB tongkang. Kami berharap ada kesepakatan dua belah pihak antara smelter dan penambang yang dibuatkan regulasinya oleh Menteri ESDM untuk menetapkan harga HPM. Apabila ada smelter yang dibeli harga di bawah HPM harus diberikan sanksi,” tuturnya
Harga internasional bijih nikel kadar 1.8 persen FoB Filipina saat ini dihargai antara US$ 59-61/ wet metric ton (wmt). Jika pemerintah mengajukan harga jual bijih nikel domestik kadar 1.8 persen FoB sebesar US$ 38-40/wmt, ini merupakan level harga yang wajar.
"Jika kita bandingkan dengan harga internasional tentu tidak memberatkan kedua pihak baik smelter maupun penambang," kata Maming.