Bisnis.com, JAKARTA - Produksi bijih nikel diproyeksikan merosot 52% menjadi hanya 25 juta wet metriks ton (WMT) di sepanjang tahun ini.
Sekjen Asosiasi Penambang Nikel Indonesia (APNI) Meidy Katrin Lengkey mengatakan menurunnya produksi ore nikel ini dikarenakan banyaknya penambang yang tak melakukan kegiatan penambangan atau produksi di tahun ini.
Hal itu dikarenakan mulai ditutupnya pintu ekspor bijih nikel berkadar rendah di bawah 1,7% sejak awal tahun ini sehingga mau tak mau penambang hanya bisa menjual di domestik.
Adapun sepanjang tahun lalu, produksi bijih nikel berkadar rendah mampu mencapai 52,76 juta WMT, naik 138% dari realisasi produksi di 2018 yang mencapai 22,14 juta WMT.
Apabila dicermati, proyeksi produksi bijih nikel yang 25 juta WMT ini memang lebih tinggi dari realisasi produksi di 2018 yang mencapai 20,07 juta WMT.
"Tahun ini perkiraan kami mencapai 25 juta WMT produksi bijih nikel," ujarnya kepada Bisnis, Rabu (12/2).
Baca Juga
Menurutnya, turunnya produksi tahun ini bila dibandingkan dengan realisasi tahun lalu juga dikarenakan adanya beberapa perusahaan tambang nikel yang tak mengajukan Rencana Kerja dan Anggaran Belanja (RKAB) produksi bijih nikel tahun ini.
Kendati demikian, pihaknya pun enggan mengungkapkan berapa banyak perusahaan yang tak mengajukan RKAB ini.
"Ada perusahaan yang tidak mengajukan RKAB tahun ini. Sejak larangan ekspor ore nikel, banyak penambang yang memilih untuk tidak melakukan aktivitas penambangan. Ini karena harga lokal masih terlalu rendah," ucap Meidy.
APNI berharap pemerintah dapat segera mengeluarkan aturan yang sifatnya mengikat terkait harga patokan mineral (HPM) dan diberikannya sanksi apabila melanggar. Adapun Kementerian ESDM masih melakukan pembahasan terkait HPM tersebut.
Selain itu dia pun tak segan-segan untuk tak memasok apabila harga ore nikel masih rendah di domestik. Terlebih, diyakini pada bulan ke-5 dan ke-6 ini, pasokan atau ketersediaan bijih nikel di beberapa smelter mulai habis.
"Pasti stop, enggak mau supply tetapi kan smelter punya beberapa tambang sendiri juga. Ada sekitar 30% pasokan smelter dari tambang sendiri," katanya.
Namun demikian, produksi bijih nikel yang sebesar 25 juta WMT ini, menurutnya, belum bisa mencukupi kebutuhan 12 unit smelter yang saat ini beroperasi.
"Smelter yang sudah produksi ada beberapa yang tambah line produksi, otomatis demand untuk bahan baku bijih nikel bertambah juga. Ada 2 Smelter baru yang tahun ini mulai produksi juga," tutur Meidy
Ketua Umum Asosiasi Perusahaan Industri Pengolahan dan Pemurnian Indonesia (AP3I) Prihadi Santoso menuturkan produksi bijih nikel yang tahun ini diperkirakan hanya 25 juta WMT dapat mencukupi kebutuhan bahan baku smelter nikel yang beroperasi.
"Masih bisa mencukupi kebutuhan smelter. Malah menurut saya, hasil dari smelter itu, seperti nikel matte, feronikel, nikel pig iron (NPI) yang sulit diekspor karena demand nikel di China yang melemah akibat virus corona," ujarnya.
Direktur Operasi dan Produksi PT Aneka Tambang Tbk Hartono menuturkan produksi bijih nikel yang digunakan baik penjualan maupun produksi feronikel mencapai 8,69 juta WMT pada 2019, turun dari realisasi 2019 yang mencapai 9,3 juta WMT.
"Tahun 2019, penjualan unaudited bijih nikel 7,5 juta WMT naik dari realisasi tahun lalu yang 6,3 juta WMT," katanya.
Direktur Pembinaan dan Pengusahaan Mineral Kementerian ESDM Yunus Saefulhak mengatakan produksi bijih nikel di tahun ini akan mengalami penurunan dari tahun ini. Pihaknya pun tak memungkiri akan ada pengereman produksi bijih nikel yang dilakukan penambang setelah terjadinya lonjakan produksi di tahun lalu.
Kendati demikian, dia menilai melonjaknya produksi ore nikel selama 2019 ini bukan karena kebijakan larangan ekspor bijih nikel berkadar rendah.
"Justru enggak tahu mau ditutup ekspornya, kan produksi tambang terhitung dari bumi diangkat kemudian ditaruh di stockpile belum tentu dijual kan karena ini dicut atau larang ekspor," ucapnya.
Saat ini, banyak perusahaan yang terlanjur sudah memproduksi bijih nikel berkadar rendah mengembalikan lagi di stockpile ke lapisan batuan dasar (bedrock) sehingga nantinya dapat digunakan lagi apabila seluruh smelter nikel sudah beroperasi sepenuhnya.
Adapun sepanjang tahun lalu, ekspor bijih nikel mencapai 30,19 WMT naik dari realisasi tahun 2018 yang mencapai 20,07 WMT.
“Seperti di Pomala, itu kan kadar rendah digelar lagi, kalau sudah terbangun smelter itu diambil lagi jadi sekarang perusahaan tambang besar seperti Antam kadar rendah yang tidak diekspor ditata ulang lagi untuk nanti digunakan setelah smelter nikel selesai semua,” tuturnya.
Yunus memproyeksikan hingga 2022 akan ada 29 smelter nikel beroperasi dengan kapasitas dengan kapasitas menjadi 69 juta ton.