Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Performa Ekspor Komoditas Utama RI Diragukan

Sejumlah kendala dari sisi dalam maupun luar negeri bakal menjadi pemberat bagi kinerja ekspor komoditas utama Indonesia.
Foto aerial pelabuhan peti kemas Koja di Jakarta. (25/12/2019). Bisnis/Himawan L Nugraha
Foto aerial pelabuhan peti kemas Koja di Jakarta. (25/12/2019). Bisnis/Himawan L Nugraha

Bisnis.com, JAKARTA — Performa ekspor sejumlah komoditas nonmigas utama Indonesia diperkirakan bakal sulit bangkit pada tahun ini. Berbagai faktor dari dalam negeri maupun eksternal diproyeksi masih bakal menekan perdagangan.

Laporan proyeksi yang dirilis Bank Indonesia pada 20 Februari lalu menyebutkan bahwa perbaikan ekspor ke depan bakal dibayangi oleh tertahannya prospek pemulihan ekonomi dunia. Salah satu pemicunya adalah wabah COVID-19 yang akan turut memengaruhi volume perdagangan dan harga komoditas dunia.

Kinerja ekspor Indonesia tercatat mengalami penurunan pada 2019 sejalan dengan pengaruh perlambatan permintaan global dan penurunan harga komoditas.

Hal ini terlihat pada ekspor nonmigas yang mengalami penurunan sebesar 4,82 persen dari US$162,84 miliar pada 2018 menjadi US$154,99 miliar sepanjang 2019. Tujuh dari sepuluh komoditas dan produk utama penyumbang ekspor bahkan tumbuh negatif pada 2019 lalu.

Wakil Ketua Umum Asosiasi Pengusaha Indonesia (Apindo) Shinta Widjaja Kamdani mengemukakan berbagai faktor eksternal dan internal yang saat ini berkelindan dengan perdagangan Indonesia tidaklah terlalu mendukung peningkatan kinerja ekspor 10 produk nonmigas Indonesia.

"Ekspor pada 2020 akan cenderung melemah atau melambat dibandingkan dengan tahun lalu. Indonesia akan cukup beruntung kalau bisa mempertahankan kinerja ekspor pada 2019 lalu," kata Shinta kepada Bisnis akhir pekan lalu.

Dari sisi eksternal, Shinta menyatakan belum ada stimulus yang bisa memacu ekspor selain diversifikasi produk garmen, sepatu, dan elektronik sebagai peluang di tengah penurunan produktivitas China pada kuartal I/2020. Dia mengatakan peningkatan ekspor pada tiga produk ini hanya bisa terjadi jika Indonesia memiliki kecukupan bahan baku dan kapasitas produksinya cukup besar untuk menghasilkan barang yang lebih banyak.

Kendati demikian, permasalahan muncul lantaran input produksi pada industri tiga komoditas tersebut juga bergantung pada impor dari China atau negara pemasok lainnya. Mekanisme ini disebutnya memerlukan waktu yang lebih lama untuk menghasilkan produk siap ekspor.

Dari sisi internal, Shinta menyebutkan peningkatan ekspor hanya bisa dipacu melalu dua cara. Yakni peningkatan produktivitas dan efisiensi produksi atau peningkatan investasi sehingga kapasitas produksi semakin besar. Kendati demikian, dia mengemukakan hal tersebut sulit direalisasi lantaran sejumlah aturan yang yang belum akomodatif terhadap iklim berusaha.

"Memang ada harapan akan ada perubahan yang signifikan karena omnibus law. Namun, kalaupun omnibus law disahkan hari ini, kita masih perlu mengubah berbagai aturan pelaksanaan," ujarnya.

Ketua Umum Gabungan Perusahaan Ekspor Indonesia (GPEI) Benny Soetrisno mengatakan 10 komoditas nonmigas utama Indonesia sejatinya masih memiliki daya saing. Kendati demikian, dia menyatakan kinerja ekspor masih diselimuti ketidakpastian sebagai imbas dari wabah COVID-19 yang melanda mitra dagang terbesar Indonesia, China.

Dari dalam negeri, Benny mengemukakan terdapat hambatan yang berkaitan dengan penggalangan dana pembiayaan. Dia menyebutkan terdapat obligasi pemerintah untuk mengurangi dana pihak ketiga di perbankan. Kondisi ini disebutnya membuat lembaga perbankan semakin sulit menyalurkan kredit investasi dan modal kerja.

Ketua Komite Tetap Bidang Ekspor Kamar Dagang dan Industri Indonesia (Kadin) Handito Joewono menilai ekspor Indonesia ke depannya masih bakal diselimuti ketidakpastian. Kehadiran wabah COVID-19 yang berada di luar perkiraan banyak pihak dinilainya bisa memberi pengaruh amat dalam pada kinerja ekspor Indonesia jika tak segera ditanggulangi.

"Pemerintah perlu segera mencari jalan keluar dengan menggandeng pelaku usaha. Jika tidak ditanggulangi, dampaknya akan sangat dalam dan bisa merontokkan fundamental yang selama ini menjadi prinsip perdagangan, ini semacam disrupsi nonteknologi. China sendiri merupakan eksportir dan importir terbesar dunia," kata Handito.

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News dan WA Channel


Konten Premium

Dapatkan informasi komprehensif di Bisnis.com yang diolah secara mendalam untuk menavigasi bisnis Anda. Silakan login untuk menikmati artikel Konten Premium.

Artikel Terkait

Berita Lainnya

Berita Terbaru

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

# Hot Topic

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Rekomendasi Kami

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Foto

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Scan QR Code Bisnis Indonesia e-paper