Bisnis.com, JAKARTA - Asosiasi Produsen Serat dan Benang Filamen (APSyFI) menyatakan penambahan investasi oleh PT Asia Pasific Rayon (APR) merupakan sinyal positif bagi industri tekstil dan produk tekstil (TPT) nasional. Musababnya, penambahan investasi tersebut dapat meringankan beban neraca dagang sekaligus memperdalam struktur produk TPT lokal di pasar global.
Sekretaris Jenderal APSyFI Redma Wirawasta mengatakan, hadirnya APR dalam konstelasi industri serat membuat kapasitas industri tekstil sanggup memenuhi seluruh permintaan perusahaan garmen lokal. Namun, Redma menekankan pengaturan tata niaga impor kain menjadi kunci agar hal tersebut terjadi.
"Kami bisa menurunkan banyak [volume] impor kain. Artinya, akan sangat positif untuk neraca perdagangan [TPT] supaya surplusnya bisa naik. Dulu mampu US$7 miliar surplusnya, sekarang US$3 miliar. Harusnya surplusnya bisa rebound [ke US$7 miliar]," katanya kepada Bisnis, Jumat (21/2/2020).
Redma menambahkan, volume produksi serat rayon pada tahun ini akan naik 30% menjadi sekitar 800.000 ton dari realisasi 2019 sekitar 600.000 ton. Menurutnya, hal tersebut disebabkan oleh pabrik APR yang akan berjalan optimum, meningkatkan produksi menjadi sekitar 300.000 ton dari performa tahun lalu sekitar 120.000 ton.
Di sisi lain, Redma menyampaikan industri serat saat ini oversupply dengan hadirnya APR jika dipisahkan dari industri TPT. Pasalnya, kebutuhan rayon di dalam negeri hanya sekitar 480.000 ton.
Namun, secara industri TPT, penambahan APR berpotensi menghilangkan potensi impor rayon sekitar 100.000 ton sampai 150.000 ton per tahun. Redma menjelaskan hal tersebut disebabkan kewajiban ekspor sekitar 50 persen dari hasil produksi PT South Pasific Viscose karena berada di kawasan berikat.
Baca Juga
Redma berujar, kapasitas produksi saat ini memang lebih rendah dari konsumsi tekstil nasional. Akan tetapi, lanjutnya, hal tersebut disebabkan oleh konsumsi kain impor yang memenuhi pasar domestik.
"Namun, kalau ngomong kapasitas [terpasang], kami jauh di atas konsumsi. [Kapasitas produksi] kami di bawah konsumsi karena memang impor lebih murah dan tidak bisa apa-apa. Tapi, kalau untuk [menggantikan kebutuhan] industri garmen orientasi ekspor, itu butuh effort lebih," ujarnya.
Seperti diketahui, Asosiasi Pertekstilan Indonesia (API) menyatakan beberapa buyer berencana untuk memperdalam struktur produknya di negara produsen. Redma berpendapat bahwa industri tekstil masih membutuhkan waktu untuk melakukan penelitian dan menyesuaikan permesinan untuk hal tersebut.
Di sisi lain, Redma mengatakan, penambahan kapasitas terpasang serat rayon menjadi sinyal positif bagi buyer untuk segera memperdalam struktur produknya. Redma menjelaskan hal tersebut didorong oleh karakteristik serat rayon yang sesuai dengan salah satu kriteria pendalaman produk buyer, yakni sustainable fashion.
Seperti diketahui, serat rayon berbahan baku dissolving pulp yang dapat sangat mudah diurai dalam tanah. Selain itu, serat rayon memiliki karakteristik yang serupa dengan serat kapas.
"Maka, kalau kita push investasi di rayon, ini bisa jadi insentif [bagi buyer]. Rayon yang dulunya impor, sekarang sudah bisa supply di sini, tinggal RnD [riset dan pengembangan]. Sebetulnya itu bisa efektif buat pendalaman industri [TPT]," ucapnya.