Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Ketentuan Jam Kerja RUU Cipta Kerja Jadi Momok Pekerja

Durasi waktu kerja pekerja yang akan ditetapkan selama 8 jam perhari atau 40 jam dalam satu pekan dalam RUU Cipta Kerja dinilai akan merugikan bagi kesehatan mental pekerja.
Sejumlah pekerja pabrik rokok menghitung uang Tunjangan Hari Raya (THR) Lebaran saat pembagian di Kudus, Jawa Tengah, Selasa (21/5/2019)./ANTARA-Yusuf Nugroho
Sejumlah pekerja pabrik rokok menghitung uang Tunjangan Hari Raya (THR) Lebaran saat pembagian di Kudus, Jawa Tengah, Selasa (21/5/2019)./ANTARA-Yusuf Nugroho

Bisnis.com, JAKARTA— Pemerintah dalam omnibus law RUU Cipta Kerja pasal 77 mengatur durasi waktu kerja akan ditetapkan selama 8 jam perhari atau 40 jam dalam satu pekan.  Aturan tentang durasi tersebut kemudian diikuti dengan pengaturan waktu istirahat sebagaimana dalam pasal 79 yang berbunyi istirahat mingguan 1 (satu) hari untuk 6 (enam) hari kerja dalam 1 (satu) minggu.

Sekretaris Jenderal Organisasi Serikat Pekerja Indonesia (OPSI) Timboel Siregar mengatakan aturan baru ini berpotensi membuat pekerja hanya mendapatkan 1 hari libur  mengingat pasal 77 tersebut hanya mencantumkan waktu tanpa menyebutkan jumlah hari. Apalagi, hal itu diperkuat dengan adanya pasal 79 yang membuka ruang 6 hari kerja diberlakukan secara umum.

“Pola 5 hari kerja merupakan sistem kerja yang sudah baik sehingga kalau dibuat ke 6 hari kerja maka secara psikologis dan fisik pekerja menjadi lelah. Apalagi dengan jalan macet sehingga perjalanan memakan waktu panjang. Produktivitas justru turun karena kelelahan fisik dan psikologis,” ujar Timboel, Selasa (18/2).

Menurutnya, jika benar adanya rencana penambahan jam kerja, alih-alih bisa menambah produktivitas, hal itu justru berpotensi akan mengganggu kesehatan mental yang menyebabkan penurunan kinerja.

Pernyataan Timboel itu kemudian dibenarkan oleh Sekjen Asian Federation of Psychiatric Associatios, Nova Riyanti Yusuf yang juga mantan anggota DPR 2014-2019. Nova menuturkan selama ini belum ada korelasi antara produktivitas dan jam kerja.

Menurutnya, jam kerja yang mengakibatkan minimnya waktu istirahat membuat para pekerja dikhawatirkan mengalami kecemasan, depresi hingga burnout.

“Kesehatan jiwa itu salah satunya  dikarenakan masalah hours [jam kerja], makanya kenapa anak-anak muda sekarang lebih suka ke startup yang jam kerjanya lebih fleksible,” jelas Nova.

Belum lagi, bagi pekerja yang tinggal di Jabodetabek akan cenderung lebih banyak menghabiskan waktu di jalan. Hal itu tentu saja akan menambah beban stres.

“Stres hidup sekarang kan lebih tinggi, ya stres di jalan, stres produktivitas, kompetisi. Belum lagi peningkatan beban kerja linier dengan jam kerja, itu ada cemas dan depresi,” katanya.

Untuk itu, dia meminta pemerintah juga perlu mengatur aspek kesehatan mental dalam merancang omnibus law rancangan undang-undang cipta lapangan kerja.

Kendati, dugaan adanya penambahan jam kerja itu kemudian dibantah oleh Ketua Umum Asosiasi PengusahaIndonesia (Apindo) Hariyadi Sukamdani yang mengatakan aturan jam kerja dalam RUU itu hanya berpatokan pada 40 jam/minggu.

“Ya walaupun tidak disebutkan  hari atau di pasal 79 waktu istirahat hanya 1 hari, tapi kan patokannya 40 jam per minggu. Jadi sebetulnya sama saja dengan aturan lama,” jelas Hariyadi.

Namun, Hariyadi mengaku sejauh ini pihaknya juga belum mendengarkan penjelasan detil terkait aturan jam kerja dari pemerintah

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News dan WA Channel


Konten Premium

Dapatkan informasi komprehensif di Bisnis.com yang diolah secara mendalam untuk menavigasi bisnis Anda. Silakan login untuk menikmati artikel Konten Premium.

Artikel Terkait

Berita Lainnya

Berita Terbaru

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

# Hot Topic

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Rekomendasi Kami

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Foto

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Scan QR Code Bisnis Indonesia e-paper