Bisnis.com, JAKARTA — Realisasi target peningkatan ekspor produk dan olahan peternakan sebesar 13 persen secara volume dan 17 persen secara nilai pada tahun ini diperkirakan bakal sulit tercapai.
Ketua Umum Gabungan Perusahaan Pembibitan Unggas (GPPU) Achmad Dawami mengatakan daya saing harga produk peternakan merupakan salah satu permasalahan utama. Dalam hal ini, peternak unggas masih harus berjibaku dengan besarnya biaya produksi lantaran harga pakan yang cenderung tinggi.
"Harga jagung yang merupakan komponen utama produksi saja sudah mencapai Rp5.200 per kilogram. Hal ini mengakibatkan produk kita kalah saing," kata Ketua Umum Gabungan Perusahaan Pembibitan Unggas (GPPU) Achmad Dawami kepada Bisnis Minggu (9/2/2020).
Hal inilah yang mengakibatkan negara utama tujuan ekspor produk unggas masih terkonsentrasi di negara-negara tetangga. Menurut Dawami, jarak yang relatif dekat membuat pelaku usaha bisa menekan biaya distribusi sehingga produk yang dijual dapat bersaing.
Aspek kesehatan hewan pun menjadi tantangan lain. Walaupun, peternakan terintegrasi di Tanah Air disebut telah menerapkan standar kesehatan yang ditetapkan, Dawami menjelaskan bahwa negara-negara maju cenderung menerapkan perizinan yang lebih ketat.
Menanggapi hal ini, Direktur Pengolahan dan Pemasaran Hasil Peternakan Kementan Fini Murfiani menegaskan bahwa pihaknya selalu menjamin bahwa produk peternakan, baik hidup maupun olahan, yang akan diekspor selalu memenuhi syarat kesehatan internasional maupun negara tujuan.
Baca Juga
Untuk ekspor produk unggas misalnya, dia mengemukakan Indonesia telah mengikuti aturan Kesehatan Hewan Dunia untuk mengendalikan status penyakit flu burung.
"Salah satu jaminan kesehatan untuk produk unggas adalah dengan penerapan kompartementalisasi bebas avian influenza [flu burung] pada farm komersial yang akan melakukan ekspor sesuai Permentan Nomor 28 Tahun 2008. Selain itu kami juga memfasilitasi perolehan sertifikan kompartemen bebas AI," papar Fini.
Volume ekspor produk peternakan sendiri menunjukkan pertumbuhan yang cukup signifikan dengan kenaikan sebesar 12,6 persen dari 229.180 ton pada periode Januari—November 2018 menjadi 258.060 ton pada periode yang sama pada 2019. Adapun secara nilai, ekspor tercatat naik sekitar 14% dari Rp8,1 triliun (kurs Rp14.000) menjadi Rp9,3 triliun.
Dari total ekspor tersebut, komoditas sarang burung walet tercatat memberi kontribusi yang cukup besar. Berdasarkan data Badan Pusat Statistik (BPS), ekspor sarang burung walet pada 2018 tercatat mencapai 1.291 ton dengan nilai US$291,23 juta atau setara dengan Rp4,07 triliun.
Sementara itu, selama periode Januari hingga November 2019, Indonesia telah mengekspor 1.128 ton sarang burung walet dengan nilai Rp4,47 triliun atau 48 persen dari total ekspor produk peternakan.
Terlepas dari nilainya yang besar, Sekretaris Jenderal Perkumpulan Pengusaha Sarang Burung Walet Indonesia (PPSBWI) Bambang Irianto mengemukakan ekspor sarang burung walet berpotensi terganggu pada tahun ini lantaran wabah virus corona yang melanda China, pasar terbesar komoditas tersebut.
"Pada Januari lalu pengiriman masih berjalan normal. Namun sejak pemerintah membatasi penerbangan dari dan menuju China, ekspor menjadi terganggu," kata Bambang kepada Bisnis, Minggu (9/2/2020).
Mengandalkan pasar alternatif pun disebut Bambang tak memberi dampak yang signifikan. Dia menjelaskan bahwa pasar produk sarang burung walet cenderung tersegmentasi hanya kepada konsumen dari etnis tertentu. Di dalam negeri, konsumsi sarang burung walet sendiri disebutnya hanya mencakup 5 persen dari total produksi.
"Kita juga ada ekspor ke Australia, tapi yang mengonsumsi juga dari etnis tertentu. Konsumsi produk ini kan sifatnya keyakinan turun-temurun terhadap khasiatnya bagi kesehatan," papar Bambang.