Bisnis.com, JAKARTA - Melonggarnya ketegangan dagang AS dan Cina jelang kesepakatan fase I pada 15 Januari 2020, diprediksi tetap akan membawa defisit transaksi berjalan (CAD) 2020 sebesar 2,8 dari PDB akibat naiknya barang impor.
Kepala Ekonom Bank Mandiri Andry Asmoro menyatakan defisit pada Desember 2019 sebesar US$28,2 juta memang menjadi kabar baik bersamaan dengan kenaikan kinerja ekspor bulan lalu sebesar 1,28 (yoy). Kondisi defisit ini secara kumulatif disebabkan oleh turunnya nilai ekspor 6,94% (yoy) meski secara volume ekspor naik 7,64% (yoy). Andry menyebut hal ini menandakan defisit kumulatif Januari-Desember 2019 lebih disebabkan oleh fluktuasi harga komoditas.
Terkait dengan impor, pencatatan impor Desember 2019 terkontraksi 5,62% (yoy) disebabkan oleh turunnya volume impor dan turunnya harga barang impor.
"Hal ini memberi sinyal bahwa konsumsi tahun lalu memang tumbuh melambat," kata Andry, Rabu (15/1/2020).
Terbukti dari volume ekspor kumulatif 2019 turun 5,31% (yoy) yang menandakan efektivitas kebijakan impor.
Sehingga secara kumulatif Januari-Desember 2019 terjadi defisit US$3,2 miliar lebih kecil dari kumulatif 2018 dengan defisit sebesar US$8,7 miliar.
Secara keseluruhan, CAD pada 2019 masih dalam batas target Bank Indonesia yakni 2,6% sampai 2,7% dari PDB. Namun pada 2020 ada kemungkinan CAD melebar karena naiknya kebutuhan impor seiring masuknya investasi ke Indonesia.
"Ke depan, kami memprakirakan arus modal asing tetap masuk ke emerging market seperti Indonesia didukung dengan rencana omnibus law memudahkan investasi untuk manufaktur dan FDI berorientasi ekspor," tutur Andry.
Andry memprediksi CAD pada 2020 berkisar 2,88% dari PDB. Hal ini berhubungan dengan naiknya kebutuhan barang modal dan bahan baku mendukung program investasi dan pengembangan manufaktur.
Dia menilai didukung kebijakan melonggar AS dan Cina serta stance kebijakan The Fed yang bersifat dovish, maka cadangan devisa juga diperkirakan bisa mencapai US$133 miliar hingga akhir 2020.