Bisnis.com, JAKARTA – Kalangan eksportir rempah dalam negeri menyatakan Indonesia perlu meningkatkan daya saing dari segi hulu sampai hilir untuk menggenjot peningkatan ekspor sebanyak tiga kali lipat dalam 5 tahun ke depan.
Direktur PT Alam Sari Buana Sigit Ismaryanto menyebutkan bahwa mayoritas tanaman perkebunan, khususnya komoditas ekspor, telah berusia tua dengan produktivitas yang menurun. Menurutnya, peremajaan menjadi kebutuhan demi meningkatkan produktivitas.
"Salah satu hal yang membuat produk kita kalah saing adalah produktivitas yang rendah. Hal ini berimbas pada biaya produksi di petani kita yang kalah bersaing dengan negara eksportir lainnya," ujar Sigit kepada Bisnis, Selasa (14/1/2019).
Hal ini setidaknya terlihat dari harga jual lada asal Vietnam yang bisa lebih murah dibandingkan lada Indonesia. Produksi lada asal negara tersebut tercatat mencapai 2 ton per hektare (ha) per tahun, dua kali lebih tinggi dibandingkan produktivitas lada di Tanah Air yang berkisar di angka 800 kilogram per ha per tahun.
Melalui peremajaan pada tanaman usia tua, produksi rempah Indonesia disebutnya bisa mengejar efisiensi produksi dan bersaing di kancah global. Kendati demikian, dia berpendapat hal tersebut membutuhkan waktu yang panjang, tak hanya 5 tahun sebagaimana peta jalan yang disampaikan Direktorat Jenderal Perkebunan.
"Kita tahu sendiri tanaman perkebunan perlu waktu bertahun-tahun untuk mencapai produktivitas optimalnya, saya kira perlu waktu lebih panjang," ujarnya.
Selain pembenahan dari segi produksi, dia pun mengharapkan pemerintah dapat memberi dukungan bagi pelaku usaha yang terlibat di berbagai lini. Hal lain yang mengakibatkan besarnya biaya produksi rempah Indonesia disebutnya mencakup rantai pasok yang panjang dan besarnya biaya transportasi.
"Memang sudah ada program tol laut, ini cukup membantu. Tapi, dari rantai pasok masih panjang. Perlu ada dukungan untuk petani sampai ke manufaktur dan eksportir. Biaya logistik domestik bahkan lebih besar dibanding biaya ekspor," tambah Sigit.