Bisnis.com, JAKARTA - Kesempatan pemerintah untuk memaksimalkan peran belanja pemerintah untuk mestimulus perekonomian tampak semakin sempit.
Bagaimana tidak, rasio belanja bunga utang terhadap pendapatan negara dari tahun ke tahun terus meningkat. Per 2019, dengan pendapatan negara yang mencapai Rp1.957,2 triliun dan belanja bunga utang yang mencapai Rp275,5 triliun, tercatat rasio belanja bunga utang terhadap pendapatan negara mencapai 14,07%.
Semakin buruknya indikator rasio bunga utang terhadap pendapatan negara pun menjadi ganjalan bagi indikator-indikator lain yang tercatat mulai membaik pada 2019.
Sebut saja, realisasi belanja bunga utang tercatat hanya tumbuh 6,3% pada 2019, jauh lebih rendah dibandingkan dengan tahun 2018 di mana belanja bunga utang tumbuh mencapai 19,1% dan terus berada pada angka double digit pada tahun-tahun sebelumnya. Outstanding utang juga masih tercatat pada angka Rp4.778 triliun dengan rasio utang terhadap PDB juga masih pada angka 29,8%.
Pendapatan negara per 2019 tercatat hanya tumbuh 0,7% atau terealisasi sebesar 90,4% dari target yang mencapai Rp2.165,1 triliun. Penerimaan pajak sebagai penyumbang penerimaan negara terbesar juga tercatat hanya tumbuh 1,4% dengan realisasi sebesar Rp1.332,1 triliun atau 84,4% dari target.
Dengan ini, tampak bahwa meski laju pertumbuhan belanja bunga utang masih cenderung turun, pertumbuhan tersebut masih belum dapat diimbangi oleh laju pertumbuhan pendapatan negara.
Baca Juga
Direktur Potensi, Kepatuhan, dan Penerimaan Pajak Ditjen Pajak (DJP) Yon Arsal pun mengungkapkan bahwa tax ratio tahun 2019 tidak akan sebesar 11,5% sebagaimana tahun 2018 dan kemungkinan besar berada di bawah 11%.
Dengan asumsi PDB sebesar Rp16.010 triliun dan penghitungan tax ratio yang turut memperhitungkan realisasi penerimaan pajak, kepabeanan dan cukai, serta PNBP SDA, maka tax ratio pada 2019 untuk sementara hanya 10,6%.
Tahun ini, belanja bunga utang dipatok mencapai Rp295,21 triliun, tumbuh 7,15% dibandingkan dengan 2019. Apabila kita berandai-andai bahwa pendapatan negara mampu mencapai target yang sebesar Rp2.233,19 triliun, maka rasio belanja utang terhadap pendapatan negara bisa ditekan ke angka 13,21%.
Penerimaan pajak sendiri perlu tumbuh hingga 23,3% apabila pemerintah hendak mencapai target tersebut.
Terkait dengan penerimaan pajak tahun lalu, pemerintah berargumen bahwa kelesuan perekonomian global menjadi landasan mengapa realisasi penerimaan pajak hanya tumbuh marjinal sebesar 2%.
Memang, data Kementerian Keuangan sendiri menunjukkan bahwa penerimaan pajak yang terkait dengan aktivitas internasional seperti PPh 22 Impor dan PPN Impor tercatat terkontraksi masing-masing sebesar -1,9% dan -8,1%.
Kinerja korporasi sendiri juga cenderung stagnan dengan realisasi penerimaan pajak dari PPh Badan sebesar Rp256,74 triliun atau hanya tumbuh 1,1% dibandingkan dengan tahun 2018.
Direktur Eksekutif Center for Indonesia Taxation Analysis (CITA) Yustinus Prastowo mengatakan bahwa ke depan perlu ada pemantapan strategi untuk mendorong penerimaan pajak.
Adapun yang perlu dilakukan antara lain dengan memperluas basis pajak dengan menindaklajuti data hasil tax amnesty.
Nomor Induk Kependudukan (NIK) juga dapat digunakan sebagai penanda tunggal dari aktivitas perekonomian. "Dalam jangka pendek, NIK harus digunakan sebagai identitas wajib dalam faktur pajak pada setiap transaksi orang pribadi," ujar Yustinus.
Core tax system yang telah digadang-gadang akan memperbaiki adminisrasi perpajakan juga perlu dituntaskan sembari terus melakukan perbaikan atas administrasi dan tata kelola perpajakan yang belum tercakup dalam Omnibus Law Perpajakan.
Dalam rangka meningkatkan kepatuhan, perlu ada pemeriksaan pajak dan penegakan hukum yang terukur.
Pemerintah juga perlu melakukan evaluasi yang menyeluruh atas skema fasilitas perpajakan yang telah digelontorkan. Insentif ke depan perlu diarahkan untuk memperkuat ekspor, reindustrialisasi, UMKM, dan mengintegrasikan ekonomi Indonesia dalam global value chain.
Dengan realisasi belanja utang yang cenderung tidak jauh dari patokan awal, artinya pemerintah memiliki PR besar untuk menyelesaikan masalah kinerja pendapatan negara terutama penerimaan pajak agar penggunaan pendapatan negara tidak terhisap oleh bunga utang.
PR tersebut semakin relevan mengingat pemerintah sendiri sudah berkomitmen untuk mempercepat realisasi belanja dalam rangka menstimulus perekonomian.