Bisnis.com, JAKARTA — Lima tahun terakhir bukan waktu yang menggembirakan bagi Sumatra. Pulau yang menjadi motor perekonomian kedua bagi Indonesia itu tengah payah. Mesin-mesin penghasil uang lesu darah karena tarkena dampak penurunan harga komoditas.
Data Badan Pusat Statistik menunjukkan bahwa pertumbuhan ekonomi Sumatra selalu di bawah rata-rata pertumbuhan ekonomi nasional dalam 5 tahun terakhir. Bahkan, sumbangsih perekonomian Sumatra juga terus lungsur ke level 21,14 persen pada kuartal III/2019.
Untuk melepas ketergantungan pada pergerakan harga komoditas, rencana industrialisasi di Sumatra sudah digaungkan sejak lama. Rencana ini tertuang dalam Masterplan Percepatan dan Perluasan Pembangunan Ekonomi Indonesia (MP3EI) yang diluncurkan pada masa pemerintahan Presiden Susilo Bambang Yudhoyono. Pembangunan jalan tol menjadi salah satu aspek dalam rencana induk tersebut.
Visi membangun jalan tol Trans-Sumatra dimulai pada pemerintahan Susilo Bambang Yudhoyono, kemudian dieksekusi pemerintahan Joko Widodo. Megaproyek ini ibarat mengulang visi Presiden Soekarno pada 1964.
Lewat Perpres No. 17 Tahun 1964, Bung Karno membentuk Otorita Jalan Raya Lintas Sumatra. Tugas badan tersebut antara lain membangun jalan lintas Sumatra sepanjang 2.400 kilometer dari Panjang, Lampung hingga Banda Aceh.
Beleid tersebut menjelaskan bahwa jalan raya dibutuhkan untuk menjadi urat nadi dalam menggerakkan kegiatan di perekonomian. Berkat jalan raya, Sumatra bisa merintis industrialisasi hingga ke level yang diperlukan untuk bertumbuh secara mandiri dan berkelanjutan.
Baca Juga
Sejumlah truk berada di rest area KM 116 jalan tol Bakauheni-Terbanggi Besar, Lampung, Sabtu (4/5/2019). - Bisnis/Abdullah Azzam
Selain perekonomian, jalan raya juga dibangun untuk kemudahan penyelenggaraan pemerintahan, transmigrasi, dan pertahanan wilayah. Secara singkat, jalan raya lintas Sumatra adalah alat untuk mencapai distribusi kemakmuran.
Apa yang menjadi visi Bung Karno, sebagian beririsan dengan tujuan dari MP3EI, terutama pembangunan di koridor Sumatra. Irisan itu terangkum dalam lema konektivitas.
Saat ini, jalan lintas Sumatra memang sudah terbangun. Namun, jalan nasional tersebut tidak lagi bisa diandalkan. Waktu tempuh yang lama dan gangguan keamanan membuat potensi sumber daya alam tak bisa digenjot optimal. Alih-alih melakukan penghiliran, komoditas dari Sumatra lebih banyak diekspor dalam bentuk mentah atau setengah jadi.
Praktik itu dalam jangka pendek memang menyenangkan. Uang datang dengan cepat. Namun, dalam jangka panjang, siapa yang bisa mengira harga bisa tersungkur lalu membuat sengsara?
Maka, industrialisasi bisa menjadi resep bagi Sumatra untuk melepas ketergantungan pada komoditas.
Wakil Ketua Umum Kamaran Dagang dan Industri (Kadin) Indonesia Bidang Pengembangan Kawasan Ekonomi Sanny Iskandar mengatakan bahwa Sumatra bisa melahirkan kawasan ekonomi baru berkat kehadiran jalan tol.
Dia menyebutkan bahwa jalan tol menambah keunggulan Sumatra sebagai pusat penghiliran produk berbasis sumber daya alam untuk tujuan ekspor maupun domestik.
"Jangan mengandalkan Jawa, [di Jawa] segalanya bisa menjadi mahal. Dengan adanya tol, kawasan industri dan pariwisata itu pasti akan terbangun," jelasnya kepada Bisnis.
Seturut dengan pembangunan jalan tol, Sumatra juga sudah memiliki gerbang baru untuk perdagangan luar negeri, yaitu Pelabuhan Kuala Tanjung di Sumatra Utara. Pelabuhan yang dibangun sejak 2015 itu memiliki kapasitas 600.000 TEUs (twenty-foot equivalent units) untuk tahap pertama, sedangkan kapasitas puncak mencapai 23 juta TEUs.
Kuala Tanjung bakal meramaikan persaingan pelabuhan di Selat Malaka karena berhadapan langsung dengan dua pelabuhan penting, yakni Port Klang dan Singapura. Pelabuhan juga menjadi satu dari tujuh pelabuhan hub yang disiapkan untuk konsolidasi kargo ekspor Indonesia.
Pembangunan jalan tol Trans-Sumatra memang belum tuntas seluruhnya. Namun, megaproyek ini perlu terus berlanjut, meneruskan visi Bung Karno menjadikan Sumatra sebagai basis produksi nasional.