Bisnis.com, JAKARTA — Kendati memiliki tingkat produktivitas paling tinggi, produk minyak kelapa sawit mentah (crude palm oil/CPO) justru menjadi minyak nabati yang kerap terhambat ekspor dan produksinya oleh sejumlah negara.
Direktur Jenderal Perdagangan Luar Negeri Wisnu Wardhana mengatakan produk CPO Indonesia sejauh ini telah mengalami hambatan ekspor di Amerika Serikat, Rusia, Prancis, dan Uni Eropa. Menurutnya, hal itu cukup mengherankan lantaran hambatan untuk produk minyak nabati lain tidak sebanyak yang dialami CPO.
“Kita sering mendapatkan gangguan dari isu lingkungan, kesehatan, keberlanjutan, hingga ketenagakerjaan. Ini menjadi tantangan bagi kami, meskipun kita sudah punya sertifikat ISPO, penundaan perluasan lahan sawit hingga peremajaan perkebunan,” katanya dalam sambutannya yang dibacakan oleh Direktur Pengamanan Perdagangan Kemendag Pradnyawati dalam acara diskusi Bisnis Lounge dengan tema “Memperjuangkan Kepentingan Sawit di Pasar Global” di Wisma Bisnis Indonesia, Selasa (17/12/2019).
Wisnu mengatakan pemerintah Indonesia tidak bisa tinggal diam menghadapi hambatan dagang yang dilakukan negara lain. Pasalnya, perkebunan CPO terbukti menaungi 2,6 juta petani swadaya dan 4,3 juta pekerja sektor lain.
Sementara itu, industri pengolahan CPO menyerap 4,2 juta pekerja langsung dan 12 juta pekerja tidak langsung. Industri CPO pun menyumbang 3,5% dari total produk domestik bruto (PDB) nasional.
Adapun berdasarkan data yang dimiliki oleh Kemendag, hambatan dagang salah satunya dilakukan oleh AS dengan memberlakukan bea masuk antidumping (BMAD) untuk biodiesel. Sementara itu, di Prancis terdapat hambatan berupa penghapusan insentif pajak untuk biofuel dari minyak kelapa sawit. Kebijakan hampir serupa juga dilakukan oleh Rusia.
Selanjutnya di Uni Eropa, gangguan yang dialami CPO dan produk turunannya cukup beragam, a.l. tudingan subsidi terhadap biodiesel, Renewable Energy Directive (RED) II, batasan kandungan 3-monochloropropanediol (MCPD) dan glycidyl ester (GE) pada produk minyak sawit.