Susahnya Menghadapi Indukan Australia
Kendala ini dibenarkan oleh Ketua Umum Perhimpunan Peternak Sapi dan Kerbau Indonesia (PPSKI) Teguh Boediyana. Menurutnya, pengembangbiakan sapi eks impor oleh peternak mandiri bukanlah perkara mudah.
"Sejak awal kami sudah tidak yakin karena tidak mudah bagi peternak skala kecil memelihara sapi indukan eks impor," ujarnya.
Hal senada pun disampaikan oleh Robi Agustiar, pengamat peternakan yang sempat menjabat sebagai Program Manager Indonesia-Australia Commercial Cattle Breeding (IACCB), sebuah program kerja sama Indonesia dan Australia dalam pembiakan sapi komersial. Pengembangan integrasi sapi dan perkebunan kelapa sawit adalah salah satu model yang dikerjakan dalam program tersebut.
"Karakteristik sapi asal Australia memang berbeda dengan sapi lokal sehingga perlakuannya pun harus berbeda. Seharusnya didata sejak awal apakah pemerintah Indonesia sudah siap, seharusnya siap karena ada pengecekan, namun tentu tak berhenti sampai di situ. Perlu monitoring dan pembelajaran agar bisa terus berlanjut dan berproduksi dengan baik," ujarnya.
Direktorat Jenderal Peternakan dan Kesehatan Hewan (Ditjen PKH) Kementerian Pertanian selaku pelaksana program bantuan sapi indukan pun akhirnya angkat suara menanggapi pemberitaan ini. Dalam keterangan resmi, Direktur Perbibitan dan Produksi Sugiono menepis pemberitaan yang seolah menunjukkan tingkat kematian dan malnutrisi tinggi pada sapi-sapi tersebut.
"Tidak benar kalau dikatakan banyak mati. Semua dalam kondisi baik. Data kami justru menunjukkan peningkatan populasi sebanyak 5% dari populasi awal. Terdapat kelahiran sebanyak 130 ekor," kata Sugiono.
Dia menjelaskan bahwa total bantuan Brahman Cross yang disebar ke 15 provinsi pada 2018 mencapai 2.652 ekor. Menurutnya, populasi tersebut telah berkembang dengan baik dan kini berjumlah 2.782 ekor.