Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Sederet Usulan Pengusah untuk Benahi Perekonomian Indonesia 2020

Kalangan pengusaha mendesak pemerintah untuk membenahi sektor ketenagakerjaan dan industri dari hulu ke hilir pada 2020. Jika tidak, pertumbuhan ekonomi nasional tahun depan diyakini hanya akan menyentuh kisaran 4.8%—5,1% atau lebih rendah dari ekspektasi pemerintah.
Ketua Umum Asosiasi Pengusaha Indonesia (Apindo) Hariyadi B Sukamdani (tengah) bersama Ketua bidang Kebijakan Publik Sutrisno Iwantono (kanan), dan Pengurus bidang kebijakan publik Rusia Karina, menjawab pertanyaan wartawan, di Jakarta, Selasa (23/7/2019)./Bisnis-Endang Muchtar
Ketua Umum Asosiasi Pengusaha Indonesia (Apindo) Hariyadi B Sukamdani (tengah) bersama Ketua bidang Kebijakan Publik Sutrisno Iwantono (kanan), dan Pengurus bidang kebijakan publik Rusia Karina, menjawab pertanyaan wartawan, di Jakarta, Selasa (23/7/2019)./Bisnis-Endang Muchtar

Bisnis.com, JAKARTA - Kalangan pengusaha mendesak pemerintah untuk membenahi sektor ketenagakerjaan dan industri dari hulu ke hilir pada 2020. Jika tidak, pertumbuhan ekonomi nasional tahun depan diyakini hanya akan menyentuh kisaran 4.8%—5,1% atau lebih rendah dari ekspektasi pemerintah.

Ketua Umum Asosiasi Pengusaha Indonesia (Apindo) Hariyadi B. Sukamdani menuturkan isu ketenagakerjaan bisa dituntas kan jika omnibus law  atau Undang-Undang (UU) Cipta Lapangan Kerja cepat dimplementasikan. Penerapan UU itu bisa mendongkrak investasi khususnya untuk industri padat karya yang masuk ke Indonesia dan berdampak langsung pada penciptaan lapangan kerja.

“Perkiraan kami, kalau UU Cipta Lapangan Kerja ini segera dilakukan ini bisa membalik ke kondisi yang lebih positif, apalagi kalau UU ini berpihak pada industri padat karya sehingga penyerapan tenaga kerjanya besar dan konsumsi dalam negeri akan membaik,” kata Hariyadi, Senin (10/12/2019).

Menurutnya, implementasi UU Cipta Lapangan Kerja ini juga harus didukung dengan pembenahan kinerja industri dari hulu ke hilir, pengembangan keahlian SDM pekerja, hingga pembenahan regulasi ketenagakerjaan.

Terkait dengan pembenahan industri hulu dan hilir, yang perlu dilakukan pemerintah adalah mengkaji ulang Rencana Induk Pembangunan Industri Nasional (RIPIN) dengan meninjau ulang peraturan pemerintah (PP) yang melandasinya.

Dia mengatakan evaluasi dan peninjauan ulang terhadap RIPIN perlu mengakomodir perbaikan terhadap penetapan sektor industri prioritas. Peninjauan ulang penetapan sektor industri prioritas dalam RIPIN harus mengakomodasi penyediaan lapanagn kerja untuk SDM dengan kompetensi rendah yang tidak memadai untuk implementasi Industri 4.0.

Penyediaan lapangan kerja tersebut harus dilakukan bersamaan dengan peningkatan keterampilan dan keahlian tenaga kerja agar dapat menopang kebutuhan SDM berkeahlian tinggi bagi sektor-sektor industri prioritas dan industri berteknologi tinggi dengan nilai tambah besar.

Selanjutnya, yang harus dilakukan adalah membenahi kebijakan kawasan industri. Sebab, selama ini kebijakan yang telah dilakukan oleh pemerintah dan diharapkan bisa meminimalisir belum terintegrasinya hulu hilir di sektor manufaktur pada kenyataannya belum idela.

“Zona kawasan industri saat ini masih terpaku dengan menyatukan semua perusahaan manufaktur di satu wilayah dan belum mengakomodasi kondisi integrasi hulu hilir antar industri.”

Terkait DENGAN pengembangan skill SDM pekerja, Hariyadi menuturkan keterampilan merupakan isu utama ketenagakerjaan yang sangat penting untuk mendukung Industri 4.0. Karena itu perlu kerjasama antar pemerintah dan pengusaha untuk meningkatkan skill tenaga kerja melalui pendidikan vokasi dan pelatihan.

“Kami mengapresiasi adanya PP yang melandasi pemberian insentif bagi perusahaan yang melakukan training untuk pekerja, berupa pengurangan beban pajak.”

Harapannya, adanya PP yang memberikan super tax deductible berupa potongan sampai 200% kewajiban membayar pajak, hal itu bisa meningkatkan upaya dunia usaha untuk mengembangkan kapasitas keterampilan dan keahlian pekerja sehingga lebih produktif dan berdaya saing.

Sementara itu, untuk pembenahan regulasi ketenagakerjaan, Ketua Umum APINDO itu mengatakan perlunya revisi UU nomor 13 tahun 2003 t entang ketenagakerjaan. Alasannya, beleid memberatkan dunia usaha dan juga untuk kondisi saat ini sudah tidak sesuai sehingga tidak dapat kompetitif.

Alasan lainnya, karena 16 pasal dari regulasi itu sudah diubah melalui putusan MK.  Adapun beberapa pasal yang harus direvisi menurutnya adalah soal definisi kerja, upah minimum, skill development, sanksi hukum perdata, pekerjaan alih daya atau outsourcing serta pesangon PHK.

“Beberapa hal terkait dengan ketenagakerjaan yang juga harus dibenahi oleh pemerintah adalah terkait dengan pengelolaan jaminan sosial, peningkatan kualitas hubungan industrial atua relasi bipartit pada khususnya.”

Sementara itu, selain masalah ketenagakerjaan dan kinerja industri dari hulu ke hilir, beberapa faktor lain yang bisa mengubah outlook yang pesimistis itu adalah peningkatan kinerja ekspor dan target investor di Indonesia, ketahanan energi, sinkronisasi pemerintah pusat dan daerah, serta sektor pariwisata.

Wakil ketua Apindo Shinta Kamdani menuturkan pemerintah perlu mempercepat penyelesaian kerjasama perdagangan internasional disamping memperluas pangsa pasar free trade agreement (FTA) kepada pasar Afrika, Timur Tengah dan Asia Selatan.

Di sisi lain, Indonesia juga bisa mengambil peluang ditengah perang dagang China dan Amerika Serikat dengan menggantikan posisi China untuk mengekspor beberapa produk andalan seperti tekstil, sepatu elektronik, furnitur serta makanan dan minuman.

“Dengan adanya trade war, posisi China di AS akan berubah sehingga ini bisa jadi peluang Indonesia. Di sisi lain, kami bekerjasama dengan Kemendag untuk bisa lebih bersinergi terkait dengan ekspor,” kata Shinta.

Hariyadi mengatakan, kinerja ekspor nonmigas pada 2020 diperkirakan naik 10% dibandingkan dengan tahun ini yang mencapai senilai kurang lebih Rp190 triliun.

Untuk mendorong kinerja ekspor, para eksportir saat ini tengah berkonsolidasi untuk membuat kantor bersama Indonesia dan American Chamber of Commerce sebagai salah satu cara mempromosikan produk Indonesia ke negeri Paman Sam. Saat ini, imbuhnya, fokus pertama para eksportir adalah sektor ritel.

"Jadi, setelah ini berjalan, baru nanti ke yang terkait B to B ke komponen otomotif. Namun, sekarang ini yang kami fokuskan adalah kebutuhan ritel, jadi ada [ekspor] furnitur, sepatu, tekstil,dan sebagainya yang sifatnya ritel dahulu."

Selain itu, imbuhnya, faktor pasar Asean juga menjadi pemicu kenaikan ekspor pada tahun depan. “Ini kan kita selama ini gak pernah secara khusus memberikan perhatian yang lebih untuk pasar ASEAN padahal kalau digarap potensinya masih besar, apalagi konektivitasnya semakin lebih mudah dengan penerbangan yang frequensinya lebih banyak.”

Untuk investasi, Shinta menuturkan pemerintah perlu fokus untuk meningkatkan investasi dari Korea, Jepang dan UEA.

Sementara itu, sektor ketahanan energi perlu adanya konsistensi penerapan Rencana Umum Energi Nasional (RUEN). Hal ini dilakukan diantaranya dengan memberikan insentif bagi industri yang menghasilkan EBT (energi baru dan terbarukan). Perbaikan kualitas regulasi dan birokrasi di bidang energi tanpa intervensi kepentingan politik juga harus diupayakan untuk menciptakan iklim investasi yang menarik.

Terakhir, untuk sektor pariwisata, Hariyadi menuturkan akan ada kenaikan jumlah pergerakan wisman. Dia memprediksi pada 2020 wisman yang akan ke Indonesia akan mencapai 16,5 juta orang lebih tinggi dibandingkan prediksi APINDO untuk tahun ini yaitu 15,5 juta orang.

“Tahun ini saya memprediksi paling hanya mencapai 15,5 juta orang, kalau 2020 ya setidaknya bisa 16,6 juta orang.”

Menurutnya, untuk meningkatkan potensi sektor pariwisata, pemerintah dalam hal ini adalah Kemenparekraf harus mengaktifkan kembali Badan Promosi Pariwisata Indonesia (BPPI). Fungsinya, untuk menjembatani antara pelaku industri pariwisata dengan pemerintah.

Jika memungkinkan, dia juga berharap agar BPPI bisa menjadi badan layanan dan menghimpun dana pihak ketiga untuk mengembangkan pariwisata Tanah Air.

“Kalau BPPI bisa dioptimalkan itu juga akan bantu banyak program untuk tarik wisman ke Indonesia.”

Menanggapi hal itu, Kepala Biro Komunikasi Publik Kemenparekraf Guntur Sakti menuturkan  Kemenparekraf mendorong agar BPPI kembali aktif.

Dia juga membenatkan jika keberadaan BPPI sangat penting sebagai mitra pemerintah dalam meningkatkan citra kepariwisataan Indonesia termasuk meningkatkan devisa negara dari sektor pariwisata. Terlebih eksistensinya merupakan amanat dari UU Nomor 10 Tahun 2009 tentang Kepariwisataan dan ditetapkan dengan Kepres Nomor 22 Tahun 2011 tentang BPPI.

“Kemenparekraf mendorong dan berharap peran aktif BPPI agar dapat menjalankan peran dan fungsinya sebagai koordinator promosi pariwisata yang dilakukan dunia usaha di pusat dan daerah sekaligus mitra kerja Pemerintah dan Pemerintah Daerah.”

Terakhir, terkait pemerintah daerah dan regulasi, APINDO ingin agar pembenahan dan perbaikan OSS bisa dilakukan dengan memperhatikan aspek regulasi, aspek sistem, serta aspek tata laksana. Untuk aspek regulasi dapat dilakukan dengan menyelaraskan dan meningkatkan kualitas peraturan OSS dan aspek sistem dapat dilakukan untuk mengkoreksi ketidaklengkapan fitur pendukung OSS.

“Sedangkan aspek tata laksana harus dilakukan mengingat masih lemahnya koordinasi serta business process yang masih belum berjalan secara efisien,” kata Hariyadi.

 APINDO mengharapkan komitmen seluruh Kementerian/Lembaga Pemerintah Pusat dan Pemerintah Daerah untuk menjalankan OSS secara konsisten. Pemerintah Pusat dan Pemerintah Daerah diharapkan dapat melaksanakan implementasi PP No. 24/2018 secara konsisten.

Dia menekankan pentingnya upaya meyakinkan Pemda bahwa dengan sentralisasi perijinan usaha ke Pemerintah Pusat akan menjamin kebaikan bagi dunia usaha serta Pemerintah Pusat dan Pemerintah Daerah mengingat kewenangan berbagai jenis perijinan usaha dasar secara hukum merupakan kewenangan Pemda.  Dampaknya, investasi tidak hanya meningkat melainkan juga merata di daerah.

Usulan-usulan tersebut jika dilaksanakan oleh pemerintah, akan bisa menepis pesimistis para pengusaha terhadap ekonomi pada 2020.

Sebagai informasi, APINDO memproyeksi pertumbuhan ekonomi pada 2019 ini hanya bisa mencapai 4,95% - 5,1%.

 

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News dan WA Channel


Konten Premium

Dapatkan informasi komprehensif di Bisnis.com yang diolah secara mendalam untuk menavigasi bisnis Anda. Silakan login untuk menikmati artikel Konten Premium.

Artikel Terkait

Berita Lainnya

Berita Terbaru

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

# Hot Topic

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Rekomendasi Kami

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Foto

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Scan QR Code Bisnis Indonesia e-paper