Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Euforia PMI Manufaktur China Menjalar di Asia

Peningkatan dalam sentimen manufaktur China untuk bulan November menjalar ke sejumlah negara lain di Asia, meskipun tak banyak terlihat tanda-tanda rebound yang kuat.

Bisnis.com, JAKARTA – Peningkatan dalam sentimen manufaktur China untuk bulan November menjalar ke sejumlah negara lain di Asia, meskipun tak banyak terlihat tanda-tanda rebound yang kuat.

Data IHS Markit yang dirilis Senin (2/12/2019) menunjukkan indeks manajer pembelian (purchasing managers’ index/PMI) untuk Korea Selatan, Jepang, Malaysia, dan Indonesia terdorong lebih tinggi.

Meski membaik, angka PMI di negara tersebut tetap berada di bawah level 50, yang memisahkan kontraksi dengan ekspansi. Adapun PMI manufaktur Taiwan bertahan di 49,8, Thailand turun menjadi 49,3 pada November 2019, dan Vietnam naik tipis menjadi 51 dari 50 pada Oktober.

Sementara itu, PMI manufaktur India naik menjadi 51,2 dari level terendahnya dalam dua tahun di 50,6 pada bulan sebelumnya. Peningkatan ini menandakan momentum dalam produksi.

Peningkatan yang berarti diperlihatkan oleh kinerja China untuk November. PMI manufaktur Caixin naik menjadi 51,8 dari 51,7 pada Oktober 2019.

Laporan ini menambah kabar baik bagi kondisi manufaktur di Negeri Tirai Bambu setelah Biro Statistik Nasional China (NBS) akhir pekan kemarin melaporkan PMI menyentuh level 50,2 pada November, level pertama di atas 50 sejak April 2019.

"China adalah tujuan ekspor utama bagi seluruh kawasan [Asia]," tulis Alex Holmes, ekonom Capital Economics Ltd. di Singapura, dalam sebuah catatan, dilansir melalui Bloomberg.

“Meski kami tetap skeptis bahwa aktivitas itu sekuat seperti yang ditunjukkan PMI Caixin, peningkatan tersinkron dalam data survei itu menunjukkan peningkatan dalam pertumbuhan di China bulan lalu, sehingga memberikan harapan untuk industri yang berfokus pada ekspor di seluruh kawasan ini,” terang Holmes.

Banyak hal kini tergantung pada bagaimana negosiasi perdagangan yang sedang berlangsung antara Amerika Serikat dan China.

"Masih ada banyak tantangan. Stabilisasi yang signifikan bergantung pada apakah AS dan China dapat mencapai kesepakatan 'fase satu’,” ujar Chang Shu, kepala ekonom Asia untuk Bloomberg Economics.

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News dan WA Channel


Editor : Rustam Agus
Konten Premium

Dapatkan informasi komprehensif di Bisnis.com yang diolah secara mendalam untuk menavigasi bisnis Anda. Silakan login untuk menikmati artikel Konten Premium.

Artikel Terkait

Berita Lainnya

Berita Terbaru

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

# Hot Topic

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Rekomendasi Kami

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Foto

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Scan QR Code Bisnis Indonesia e-paper