Bisnis.com, JAKARTA – Ketidakpastian global beserta perlambatan ekonomi dunia tahun ini diyakini tidak banyak mengganggu aliran modal asing masuk ke negara-negara berkembang atau emerging markets seperti Indonesia.
Berdasarkan Laporan Perekonomian Terkini Bank Indonesia, sejumlah strategi pelonggaran kebijakan moneter hampir di seluruh belahan dunia belum membuahkan hasil bagi perbaikan ekonomi dunia.
Laporan itu memerinci, ketegangan ekonomi akibat perang dagang membuat rata-rata pertumbuhan ekonomi dunia tahun ini hanya akan mencapai 3,0% (yoy) dari tahun sebelumnya 3,6% (yoy) berdasarkan proyeksi International Monetary Fund (IMF). Adapun perbaikan diyakini mulai terjadi pada 2020 dengan perkiraan naik tipis 3,1% (yoy).
Sementara itu, Bank Indonesia sendiri masih cukup optimistis memprakirakan ekonomi dunia tahun ini bisa mencapai 3,2% (yoy), dan akan membaik atau rebound pada 2020 menjadi 3,3% (yoy).
Kondisi tersebut dipicu oleh menurunnya volume perdagangan dunia, alhasil kegiatan produksi juga menurun dan harga komoditas menjadi anjlok. Sebagai contoh, secara year-to-date, sepanjang 2019 harga Indeks Harga Komoditas Ekspor Indonesia terdepresiasi -4,0%. Angka ini terjun semakin dalam dari 2018 lalu dengan penurunan -2,8%.
Meski demikian, ketidakpastian pasar keuangan global mulai membaik sehingga alirna modal (capital inflow) ke negara berkembang tetap berlanjut.
Hal senada diungkapkan Ekonom PT Pemeringkat Efek Indonesia Fikri C. Permana yang menyatakan meski ada kecenderungan adanya arus modal yang keluar atau capital outflow akibat ketidakpastian kesepakatan datang AS dan China, Indonesia tidak akan kekurangan modal yang masuk.
Dia memerinci, karakter umum negara emerging market memang dependen terhadap capital inflow dari asing, khususnya negara maju. Beberapa contoh negara emerging market tersebut adalah India dan Filipina.
Sebaliknya, karakter Indonesia cukup tahan karena ketergantungan pertumbuhan ekonomi Indonesia bertumpu pada konsumsi rumah tangga. Selain itu, regulasi perdagangan Indonesia, khususnya ekspor dan impor punya kontribusi hanya 25% dari PDB.
“Itu hanya 25% dari PDB, jadi saya rasa dampaknya bagi kita sangat rendah,” jelas Fikri, Senin (25/11/2019).
Sementara itu, Head of Research LPEM FEB Universitas Indonesia, Febrio N. Kacaribu menyatakan penurunan tensi ketidakpastian pasar keuangan membuat IMF pun memangkas pertumbuhan global sebesar 20 basis poin menjadi 3,0% tahun ini.
Dia menyatakan, dengan absennya tekanan inflasi serta dihadapkannya pada kondisi melemahnya aktivitas manufaktur dan perdagangan, beberapa bank sentral utama telah melonggarkan kebijakan moneter untuk antisipasi perlambatan ekonomi.
Misalnya saja The Fed memangkas FFR 25 bps, Oktober lalu. Begitu pula ECB yang akan melakukan quantitative easing tambahan pada November 2019 mengindikasikan pemangkasan suku bunga semakin negatif. Oleh sebab itu, Febrio menilai Bank Indonesia masih punya ruang untuk kembali memangkas suku bunga tahun ini ke level 4,75%.