Bisnis.com, JAKARTA — Peringkat investasi Jakarta mengalami penurunan dan tak masuk dalam lima besar Top Market 2020 menurut PwC-Urbanland Institute. Jakarta kalah oleh Singapura, Tokyo, Ho Chi Minh City, Sydney, dan Melbourne. Pada 2020 diproyeksikan Jakarta akan menduduki urutan ke-18.
Menurut Wakil Ketua Umum DPP Persatuan Perusahaan Realestat Indonesia (REI) bidang Hubungan Luar Negeri Rusmin Lawin, ada beberapa poin yang membuat minat investasi terutama dari internasional ke Indonesia, khususnya Jakarta sebagai ibu kota, mengalami perlambatan.
“Ada enam poin yang dilihat investor, yaitu aturan dan hak properti, akses kredit, efisiensi pemerintah, penyelesaian sengketa yang rasional, transparansi keuangan, peraturan yang layak. Ini yang harus terpenuhi dulu sebelum mengundang investor masuk,” ungkapnya kepada Bisnis, Rabu (20/11/2019).
Rusmin menambahkan bahwa salah satu yang menjadi alasan investasi yang masuk ke Indonesia masih minim adalah karena Indonesia belum masuk dalam radar investor besar terutama dari asing. Pasalnya, Indonesia dinilai belum memenuhi keenam indikator utama tadi.
“Saya berkunjung ke luar negeri, ke Jepang, China, ke perusahaan besar saya tanya kenapa belum mau masuk Indonesia? Jawabannya karena belum masuk radar mereka. Potensinya masih minim sekali, padahal investor tujuan utamanya kan cari keuntungan, mereka anggap investasi di Indonesia belum bisa cukup menguntungkan,” lanjutnya.
Menurut Rusmin, saat ini investasi banyak hadir dari perusahaan besar, bukan lagi dari perorangan. Karena dari perusahaan, biasanya investasi yang diberikan akan berjangka panjang. Hal itu seharusnya bisa menjadi potensi yang bisa ditangkap pemerintah untuk membuat regulasi-regulasi terkait dengan investasi menjadi lebih mudah.
“Semakin kita comply ke semua key indicators itu, maka semakin kita jadi favorit investor untuk membeli properti yang pada gilirannya akan mempercepat pertumbuhan sektor properti dan ujungnya akan mengangkat pendapatan per kapita penduduk kita juga. Hasilnya, kita bisa makin cepat kita keluar dari middle income trap,” ungkapnya.
Kemudian, jika melihat kondisi perang dagang antara China dan Amerika Serikat saat ini, kata Rusmin, seharusnya Indonesia juga bisa menangkap potensi untuk masuknya perusahaan-perusahaan besar. Hal ini selain bisa membuka lapangan pekerjaan, juga akan menumbuhkan pengembangan properti di Indonesia.
“Vietnam itu kan bekas jajahan Amerika [AS], mereka disikapi baik oleh Amerika, itu kenapa China banyak yang pilih pindah ke sana. Namun, di sana serapan tenaga kerjanya terbatas, harusnya bisa masuk ke Indonesia karena kondisinya sama. Nanti masuk ke kawasan industri, produksi dari sini, ekspor naik. Wah, bagus deh, ekonomi kita,” kata Rusmin.