Bisnis.com, JAKARTA — Badan Pengatur Hilir Minyak dan Gas Bumi (BPH Migas) tengah menyiapkan beleid terkait biaya regasifikasi gas alam cair yang masuk dalam skala keekonomian seluruh pihak terkait, mulai dari distributor hingga pengguna akhir.
Anggota Komite BPH Migas Jugi Prajugio mengatakan pembentukan kebijakan biaya regasifikasi gas alam cair (liquefied natural gas/LNG) tersebut masih dalam pembahasan. Nantinya, pengaturan biaya regasifikasi LNG dapat dianalogikan seperti formula biaya angkut gas melalui jaringan pipa atau toll fee.
Jugi menjelaskan biaya regasifikasi akan meliputi modal belanja dan biaya operasi. Selain itu, biaya regasifikasi akan dihitung dari semua biaya atas fasilitas LNG dibagi dengan volume gas yang mengalir.
“Ini masih dalam diskusi. Jika merujuk ke daftar isian masalah RUU Migas, biaya rantai pasok LNG di dalam negeri diusulkan dan diatur oleh BPH Migas,” tuturnya, Minggu (17/11/2019).
Sejauh ini, biaya regasifikasi LNG belum diatur oleh pemerintah. Pemerintah baru menerbitkan Peraturan Menteri Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) No. 45 Tahun 2017 yang digunakan dalam pengaturan harga gas untuk kelistrikan.
Dalam Permen ESDM tersebut, pemerintah mengatur harga gas dari LNG sebesar 14,5% dari harga minyak mentah Indonesia (Indonesian crude price/ICP) di pembangkit listrik.
Dengan adanya regulasi ini, tambahnya, BPH Migas ingin memberikan keyakinan kepada para stakeholder, terutama pengguna gas. Menurutnya, industri akan lebih yakin beralih ke gas bumi dengan adanya kepastian biaya.
“Akhirnya badan usaha penyedia infrastruktur akan terdorong juga untuk investasi [membangun fasilitas regasifikasi],” ujarnya.
Berdasarkan data SKK Migas, saat ini baru terdapat empat fasilitas regasifikasi LNG di Indonesia, yakni Terminal Regasifikasi Arun berkapasitas 3 juta ton per tahun (MTPA), unit penampungan dan regasifikasi terapung (FSRU) sebesar 1,8 MTPA, FSRU Nusantara Regas sebesar 3,8 MTPA, dan fasilitas regasifikasi 0,3 MTPA di Bali.