Bisnis.com, JAKARTA - Direktur Utama PT Pertamina Power Indonesia (PPI), perusahaan pemimpin konsorsium yang menggarap pembangkit listrik tenaga gas uap (PLTGU) Jawa-1, Ginanjar dicopot. Pencopotan tersebut dilakukan di tengah konstruksi proyek yang ditargetkan rampung pada 2021.
Terkait hal tersebut, PT Pertamina (Persero) memastikan pencopotan Dirut PII tidak akan memengaruhi pengerjaan proyek PLTGU Jawa-1. Adapun PLTGU Jawa-1 berkapasitas 1.760 MW ditargetkan beroperasi komersial atau melakukan commercial operation date (COD) pada 2021.
Saat ini, konstruksi PLTGU Jawa-1 telah melebihi 30%. Nantinya, pembangkit tersebut akan berfungsi sebagai load follower, yakni dapat mengikuti perubahan beban.
Nilai investasi proyek yang berlokasi di Karawang, Jawa Barat tersebut mencapai US$1,8 miliar.
Pengerjaan PLTGU Jawa-1 dilakukan oleh konsorsium PPI, Marubeni Corporation, dan Sojitz Corporation. PPI bertindak sebagai pemimpin konsorsium dalam proyek ini.
Sekretaris Perusahaan Pertamina Tajudin Noor mengatakan pergeseran direksi anak perusahaan merupakan hal biasa di lingkungan Badan Usaha Milik Negara (BUMN). Meskipun terjadi pergeseran direksi, dia memastikan proyek tetap berjalan normal.
"PLTGU Jawa-1 akan berjalan seperti biasa," katanya kepada Bisnis, Senin (4/11).
Sebelumnya, telah dilayangkan surat dari PPI kepada Chief Audit Executive Pertamina tertanggal 13 September 2019 perihal Tambahan Data dan Informasi Terkait Permohonan Pelaksanaan Investigasi Proyek IPP Jawa-1. Surat yang diperoleh Bisnis tersebut menjelaskan dinamika yang terjadi dalam konsorsium proyek.
Beberapa contoh kasus yang menimbulkan gesekan dalam konsorsium tersebut, yakni mulai dari entering fee, pembelian lahan tambahan, isu pelanggaran local content, hingga terkait floating storage regasification unit (FSRU).
Pertama, Marubeni dinilai melakukan kesepakatan dibawah tangan mengenai entering fee ke Sojitz tanpa sepengetahuan PPI. Padahal, saat Sojitz bergabung dalam konsorsium, PPI tidak berminat untuk meminta entering fee. Lantaran entering fee tersebut perlu persetujuan PPI, Marubeni akhirnya melaporkan kesepakatan entering fee tersebut.
Kedua, pembelian lahan tambahan untuk right of way (ROW). Konsorsium hampir kehilangan kesempatan penghematan US$ 12 juta dalam beberapa kali proses negosiasi dengan kontraktor pembebasan lahan karena Marubeni menyetujui penawaran harga dengan alasan tata waktu yang ketat. Padahal, menurut surat tersebut, pada kenyataannya PPI berhasil memperoleh harga lahan hanya 1/6 dari penawaran awal kontraktor.
Ketiga, soal isu pelanggaran tingkat kandungan dalam negeri (TKDN) 2019. Deputi COO JSP yang merupakan representasi Marubeni dinilai secara diam-diam melakukan pendekatan intensif ke EPC Kontraktor untuk menggunakan pipa impor dari Marubeni Itochu Steel Inc.
Keempat, soal FSRU. Dalam surat tersebut dijelaskan bahwa Sojitz dan Marubeni menginisiasi pergantian partner FSRU dari Exmar menjadi Mitsui O.S.K Lines (MOL). PPI terbuka dengan inisiatif tersebut sepanjang demi kebaikan proyek dan prudent.
Selain PLTGU Jawa-1, PPI juga saat ini sedang mengerjakan pengembangan PLTGU Bangladesh 1.200 MW. Saat ini pembangkit tersebut sedang tahap soil test.
Marubeni awalnya juga merupakan salah satu partner proyek PLTGU Bangladesh. Marubeni bergabung sejak Agustus 2017.
Namun, karena perlunya solid partnership dan proyek yang berada di luar Indonesia serta alasan lainnya, PPI memutuskan untuk tidak memperbarui kesepakatan konsorsium. Artinya, kerja sama dengan Marubeni telah berakhir di proyek tersebut.