Bisnis.com, JAKARTA - Sejumlah hal masih perlu diperbaiki Indonesia agar dapat memperbaiki kemudahan berbisnis. Beberapa di antaranya adalah penyederhanaan prosedur dan pembayaran pajak.
Hal tersebut dikatakan oleh Ekonom Senior Bank Dunia Arvind Jain beberapa waktu lalu dalam pemaparan laporan Ease of Doing Business yang dirilis oleh Bank Dunia.
Dalam laporan Ease of Doing Business, Indonesia memperoleh nilai 69,6 dari 100 dan menempati peringkat ke-73 dari 190 negara. Peringkat tersebut tidak berubah dibandingkan dengan perolehan pada 2019 meski dari perolehan nilai mengalami peningkatan 1,64 poin.
Salah satu poin evaluasi untuk Indonesia berasal dari indikator memulai usaha (starting a business). Proses memulai usaha di Indonesia saat ini masih harus melewati 11 prosedur, jauh di atas rata-rata negara di kawasan Asia Pasifik dan Asia Timur sebesar 6,5 prosedur.
Selain itu, pada sektor membayar pajak (paying taxes), jumlah pembayaran pajak di Indonesia mencapai 26 jenis per tahun. Sementara itu, rata-rata di negara kawasan ada 20,6 jenis pajak.
Penegakan hukum terhadap kontrak (enforcing contracts) merupakan aspek lain yang masih memerlukan banyak. Biaya yang harus dikeluarkan pengusaha untuk hal ini mencapai 74% dari nilai klaim, lebih tinggi bila dibandingkan dengan rata-rata kawasan yaitu 47,2% dari nilai klaim.
"Pemerintah Indonesia masih perlu melakukan banyak reformasi pada sektor-sektor ini," tutur Arvind.
Dalam laporannya, Bank Dunia juga menyatakan Indonesia telah melakukan perbaikan pada lima dari sepuluh sektor yang menjadi indikator penilaian. Jumlah ini merupakan yang terbanyak kedua secara global, setara dengan Myanmar, dan berada di belakang China yang melakukan perbaikan pada delapan sektor.
Sektor yang dinilai menunjukkan perbaikan pada indeks tahun ini adalah memulai usaha, elektrifikasi (getting electricity), membayar pajak, perdagangan lintas batas (trading across borders), dan penegakan hukum terhadap kontrak.