Di tengah hiruk pikuk komposisi kabinet yang akan mengisi pemerintahan Joko Widodo–Ma’ruf Amin selama 5 tahun mendatang, isu pergantian Direktur Jenderal Pajak juga terus berhembus kencang dan menjadi perhatian publik.
Sejumlah nama yang digadang-gadang berpotensi mengisi jabatan orang nomor satu di tubuh otoritas pajak tersebut terus bermunculan.
Sebut saja Suryo Utomo yang menjabat Staf Ahli Menteri Keuangan Bidang Kepatuhan Pajak, Sekretaris Jenderal Kementerian Keuangan Hadiyanto, hingga nama Direktur Jenderal Perimbangan Keuangan Astera Primanto Bhakti juga tak luput dari kasak-kusuk pemerhati pajak maupun di internal Kementerian Keuangan.
Berdasarkan informasi yang dihimpun Bisnis.com, nama Suryo Utomo ditengarai cukup kuat dan kabarnya telah masuk di dalam pergunjingan pada level pimpinan. Belakangan, Keputusan Presiden (Keppres) soal penunjukkan Dirjen Pajak juga sudah ditandatangani dan tinggal menunggu diterbitkan.
“Betul, Keppres sudah ditandatangani,” ungkap informasi tersebut, Senin (21/10/2019).
Dalam catatan Bisnis.com, Suryo Utomo sebenarnya bukan nama baru dalam bursa Dirjen Pajak. Pada 2 tahun lalu, sebelum pemerintah menunjuk Robert Pakpahan sebagai Dirjen Pajak, Suryo Utomo juga disebut sebagai calon dirjen terkuat waktu itu.
Namun demikian, menurut kabar yang sempat terdengar dia tak jadi ditunjuk lantaran pihak istana tidak merestuinya. Selain itu kabar lainnya juga menyebutkan bahwa namanya sempat masuk daftar hitam oleh sebuah lembaga milik pemerintah.
Suryo Utomo sendiri tak menjawab saat coba dikonfirmasi soal kabar terkait penunjukkannya maupun terkait informasi yang menyebutkan dirinya masuk dalam daftar hitam lembaga tersebut.
Hal serupa juga dilakukan pejabat dilingkungan istana, termasuk mantan Setkab Pramono Anung yang dikonfirmasi soal keberadaan Keppres penunjukkan Dirjen Pajak tersebut.
Terlepas dari siapa yang akan menduduki jabatan sebagai Dirjen Pajak mendatang, posisi Dirtjen Pajak memegang peranan sentral dalam jalannya pemerintahan 5 tahun mendatang.
Apalagi, dalam pidato Presiden Joko Widodo yang disampaikan seusai pengambilan sumpah jabatan kemarin, presiden secara gamblang menyebutkan beberapa program prioritasnya selama 5 tahun ke depan.
Program mengenai insfrastruktur misalnya, kendati dalam periode pertama pemerintahan Jokowi telah dibangun secara massif, tetap menjadi prioritas utama pemerintah. Namun demikian, pembangunan infrastruktur maupun program lainnya misalnya pengembangan sumber daya manusia (SDM) membutuhkan dana yang tidak sedikit.
Pajak, sebagai salah satu sumber utama pembiayaan anggaran menjadi salah satu tulang punggung bagi pemerintah untuk menuntaskan mimpi besar pemerintahan Jokowi–Ma’ruf. Persoalannya, dengan postur dan struktur penerimaan pajak yang masih timpang, upaya mewujudkan mimpi-mimpi tersebut tidak mudah.
Dalam catatan Bisnis.com, setidaknya ada beberapa persoalan yang perlu dilakukan oleh Ditjen Pajak. Pertama, memutus tren shortfall penerimaan pajak. Shortfall penerimaan menjadi kutukan bagi siapapun pemerintahan dan dirjen pajak yang menjabat. Kedua, kinerja pemungutan pajak yang dari semua indikator misalnya tax ratio dan elastisitas penerimaan dengan Produk Domestik Bruto (PDB) belum ideal.
Ketiga, menuntaskan reformasi perpajakan yang saat ini berlangsung. Beberapa di antaranya adalah soal reformasi regulasi perpajakan misalnya RUU Ketentuan Umum dan Tata Cara Perpajakan (KUP) yang sampai kini tak kunjung sampai di lingkungan diselesaikan.
Terkait dengan hal itu Wakil Ketua Komite Ekonomi dan Industri Nasional (KEIN) Arif Budimanta dalam sebuah diskusi pekan lalu menambahkan, selain tiga persoalan tersebut petugas pajak juga harus bisa mendorong perekonomian.
Dia mengatakan pengelola pajak tidak sekadar memungut pajak sebanyak-banyaknya, lebih dari itu, juga menentukan kebijakan-kebijakan yang tepat agar tidak menghambat perekonomian tetapi justru kebijakan dan strategi yang dapat menggerakkan perekonomian ke arah yang lebih berkualitas.
Di satu sisi, ekonom UI Faisal Basri mengatakan siapapun Direktur Jenderal (Dirjen) Pajak harus mampu memobilisasikan segala potensi yang dimiliki oleh dirjen pajak.
Selain itu Dirjen Pajak yang dipilih harus memiliki kredibilitas mumpuni. Jangan sampai, orang yang akan memimpin direktorat jenderal yang paling strategis tersebut tidak memiliki kapabilitas dalam memimpin lembaga.
"Namun Menkeu Sri Mulyani [Menteri Keuangan Kabinet Kerja jilid I] kan terkenal orang yang merekomendasikan dirjen pajak, yang saya agak aneh mengapa dia tidak membuka kompetisi itu [dirjen pajak] untuk luar," kata Faisal belum lama ini.
Padahal dengan seleksi terbuka, kalau persyaratannya bisa terpenuhi, seperti berani mengatakan tidak benar pada atasan merunutnya tidak menjadi persoalan.
"Bukan hanya yes man yes man dan biasa-biasa saja," jelasnya.
Singkat kata, sebagai institusi yang sangat strategis, seorang Dirjen Pajak harus dipimpin oleh orang yang benar-benar mimiliki sikap dan kapabilitas untuk menerjemahkan berbagai dinamika di bidang perpajakan. Soal siapa sosoknya? Tentu semuanya ada di tangan Pak Jokowi..