Bisnis.com, JAKARTA — Kendati pemerintah telah mengeluarkan kebijakan pengendalian impor besi dan baja, laju impor komoditas tersebut rupanya masih terus mengalami pertumbuhan pada tahun ini.
Wakil Ketua Umum Asosiasi Industri Besi dan Baja Indonesia (Indonesian Iron and Steel Industry Association/IISIA) Ismail Mandry mengatakan pemerintah sejatinya telah menerbitkan aturan berupa Peraturan Menteri Perdagangan (Permendag) No.110/2018 tentang Ketentuan Impor Besi atau Baja, Baja Paduan dan Produk Turunannya guna mengendalikan impor besi dan baja.
Ketentuan itu mengatur bahwa impor besi dan baja tidak lagi diperiksa menggunakan skema post border, melainkan dikembalikan ke pabean melalui pusat logistik berikat (PLB). Peraturan tersebut berlaku mulai 20 Januari 2019.
“Namun ketentuan itu masih belum bertaji. Akibatnya sepanjang tahun ini, kami para produsen besi dan baja seolah-olah dipaksa pasrah dengan laju impor besi dan baja yang tinggi,” jelasnya ketika dihubungi Bisnis.com, Rabu (9/10/2019).
Adapun, berdasarkan data dari Badan Pusat Statistik (BPS), nilai impor besi dan baja sepanjang Januari-Agustus 2019 mencapai US$6,38 miliar. Capaian tersebut tumbuh 5,5% dari periode yang sama pada tahun lalu.
Ismail mengatakan terdapat tiga hal yang membuat laju impor besi dan baja masih terus tumbuh pada tahun ini. Pertama, belum adanya peraturan tambahan mengenai pengalihan jalur importasi besi dan baja. Kedua, masih adanya kebocoran importasi besi dan baja melalui PLB. Ketiga, belum adanya sistem pengecekan otomatis yang dapat memeriksa kebutuhan dan produksi dari besi dan baja di Indonesia.
Terkait dengan belum adanya peraturan tambahan mengenai pengalihan jalur importasi besi dan baja dari post border ke PLB, dia mengatakan hingga saat ini Kementerian Keuangan (Kemenkeu) belum menerbitkan aturan yang memandatkan Direktorat Bea dan Cukai melakukan pemeriksaan importasi di PLB.
“Saya mendapatkan informasi, Direktorat Bea dan Cukai belum bisa secara maksimal melakukan pemeriksaan impor besi dan baja. Sebab, belum ada peraturan berbentuk petunjuk teknis dari Kemenkeu untuk melaksanakan kebijakan pengawasan,” ujarnya.
Di sisi lain, dia mengatakan terjadi sejumlah kecurangan terkait dengan impor melalui PLB. Fenomena itu terjadi meskipun untuk melakukan importasi besi dan baja, rekomendasi impor dari Kementerian Perindustrian dan perizinan impor dari Kementerian Perdagangan telah diperketat. Dia menduga masih terjadi aktivitas kongkalikong antara importir nakal dengan sejumlah oknum pejabat.
Adapun, terkait dengan sistem pengecekan otomatis yang disebutnya dengan smart machine engine, hal itu baru dapat dilakukan pada produk baja flat pada awal bulan ini. Sementara itu, untuk produk lain, sistem tersebut menurutnya belum dapat dilakukan.
Sistem itu, lanjutnya, akan memberikan informasi mengenai data ketersediaan stok produk besi dan baja di dalam negeri yang terkoneksi dengan Kemenperin dan Kemendag sebagai bahan penerbitan izin impor.
“Sistem ini butuh basis data yang akurat dan kuat. Sementara baru satu produk yang bisa kita akomodasi. Harapannya produk lain juga dapat kita berlakukan seperti ini,” katanya.
Senada, Direktur Utama PT Krakatau Steel Tbk. Silmy Karim menyebutkan belum adanya peraturan dari Kemenkeu terkait dengan petunjuk teknis pemeriksaan impor di PLB menjadi salah satu penyebab laju impor besi dan baja masih terus tumbuh. Dia pun mendesak agar Kemenkeu segera menerbitkan aturan tersebut agar perlindungan terhadap produk besi dan baja dalam negeri dapat segera dilakukan.
“Persoalan lain adalah laju impor sepanjang tahun ini merupakan efek dari izin impor yang diterbitkan sebelum Permendag No.110/2018 berlaku. Jumlah izin impor sebelum beleid itu berlaku sangat besar, sehingga masih bisa digunakan untuk memasukkan barang sampai tahun ini,” katanya.
Terpisah, Sekretaris Jenderal Gabungan Importir Nasional Seluruh Indonesia (GINSI) Erwin Taufan mengaku heran laju impor besi dan baja di Indonesia masih mengalami pertumbuhan. Pasalnya, pemerintah pada tahun ini sudah sangat agresif menekan impor besi dan baja.
“Tahun ini kami dari importir besi dan baja justru berteriak-teriak. Terutama importir produsen. Sebab Kemenperin sulit sekali mengeluarkan rekomendasi impor jika volume impor yang kami ajukan di atas 10.000 ton,” ujarnya.
Erwin yang juga salah satu importir besi dan baja mencontohkan pada tahun ini dia hanya mampu mendapatkan izin impor sebesar 4.000 ton dari yang volume yang diajukannya ke pemerintah sebesar 20.000 ton.
Dia menambahkan dengan dikembalikannya jalur importasi dan pemeriksaan impor besi dan baja dari post border menuju ke PLB, para importir harus menambah ongkos logistiknya. Sebab, dengan jalur importasi melalui PLB, para importir harus menambah ongkos sewa penyewaan gudang dan biaya pengangkutan dari pelabuhan ke PLB serta dari PLB ke gudang importir.
“Maka dari itu harus dicek lagi apakah benar impor masih tumbuh. Saya justru kurang yakin dengan data BPS. Sebab di lapangan, importir besi dan baja sudah kewalahan dalam melakukan pengadaan dari luar negeri,” katanya.
Menanggapi hal tersebut, ekonom Core Indonesia Mohammad Faisal meminta pemerintah untuk mengkaji ulang ketentuan importasi besi dan baja. Pasalnya komoditas tersebut telah lama mengalami tekanan akibat laju impor yang tinggi.
“Saya pikir tidak hanya pengawasannya, namun perlu juga diberlakukan kebijakan nontarif seperti penguatan kepatuhan dalam hal standar nasional Indonesia (SNI). Supaya pengendalian impor ini dapat berlaku secara berlapis,” ujarnya.
Terpisah, ketika dimintai keterangan, Direktur Jenderal Perdagangan Luar Negeri Kementerian Perdagangan Wisnu Wardhana dan Direktur Jenderal Bea dan Cukai Kemenkeu Heru Pambudi belum memberikan jawaban.