Bisnis.com, JAKARTA – Penerapan pembatasan merek (brand restriction) serta kemasan polos (plain packaging) bagi produk rokok dinilai belum dapat diterapkan di Indonesia karena berpotensi meningkatkan peredaran rokok ilegal.
Kepala Sub Direktorat Industri Hasil Tembakau dan Bahan Penyegar, Industri Agro Kementerian Perindustrian (Kemenperin) Mogadishu Djati Ertanto menyebut penerapan brand restriction serta plain packaging ternyata meningkatkan peredaran rokok ilegal di Australia. Tak tertutup kemungkinan hal tersebut juga akan terjadi di Indonesia.
Terlebih, pemerintah berencana menaikkan Harga Jual Eceran (HJE) rokok sebesar 35 persen, diikuti oleh cukai senilai 23 persen.
“Ketika brand restriction serta plain packaging diterapkan di Australia pada 2012, peredaran rokok ilegal yang diselundupkan tercatat naik dari 11,5 persen menjadi 13,5 persen. Tentunya peredaran rokok ilegal itu merugikan negara karena mereka tak membayar cukai dan pajak,” katanya di Jakarta, Rabu (9/10/2019).
Djati mengatakan peningkatan peredaran rokok ilegal di Indonesia kemungkinan akan lebih besar dibandingkan Australia jika kebijakan tersebut benar-benar diterapkan. Pasalnya, kondisi geografis Indonesia yang terdiri atas kepulauan akan mempersulit pengawasan yang dilakukan oleh pihak berwenang.
Hal lain yang dikhawatirkan terjadi adalah munculnya persaingan tidak sehat antar produsen rokok di Indonesia. Pasalnya, terbuka kemungkinan pemboncengan reputasi merek yang sudah dikenal luas dan merek baru atau yang memiliki ekuitas rendah bisa menghilang lantaran tak mampu bersaing.
Baca Juga
Dia juga menyampaikan kemungkinan munculnya efek domino, termasuk di sisi penerimaan cukai dan tenaga kerja. Saat ini, industri rokok berkontribusi hingga Rp150 triliun terhadap pendapatan negara dan menyerap lebih dari 6 juta tenaga kerja.
“Belum lagi petani tembakau yang selama ini produksinya hampir mencapai 200 juta ton juga diserap oleh industri rokok di Tanah Air, belum lagi produksi cengkeh lebih dari 100.000 ton yang diserap untuk produksi rokok kretek yang mendominasi sampai 90 persen. Begitu besar pengaruhnya industri rokok ini,” ungkap Djati.
Oleh karena itu, dia menuturkan seluruh kementerian dan lembaga terkait perlu berhati-hati sebelum menerapkan atau mengusulkan aturan baru. Meski, memang ada isu kesehatan yang juga terkait dengan rokok.
Sebelumnya, Ketua Gabungan Perserikatan Pabrik Rokok Indonesia (GAPPRI) Henry Najoan menyatakan penerapan brand restriction serta plain packaging untuk rokok akan sangat memukul industri rokok di Indonesia, terutama industri rokok kretek yang didominasi oleh perusahaan berskala kecil hingga menengah.
Menurutnya, pembatasan merek industri rokok di Indonesia mengacu pada Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 109 Tahun 2012 terkait Pengamanan Bahan Zat Adiktif Berupa Produk Tembakau Bagi Kesehatan dengan mewajibkan produk tembakau memberikan peringatan kesehatan berupa gambar seram 40 persen dari total display kemasan sudah cukup dan tak perlu diubah lagi.