Bisnis.com, JAKARTA – Usaha mendorong pertumbuhan ekonomi indonesia melalui sejumlah paket kebijakan ekonomi dinilai belum menorehkan hasil maksimal. Kebijakan yang masih reaktif dan waktu pemberlakuan yang singkat menjadi faktor utama.
Peneliti CORE Yusuf Rendy Manilet menuturkan, efek dari 16 paket kebijakan ekonomi yang dikeluarkan pemerintah sejak 2015 cenderung beragam. Ada beberapa paket kebijakan yang ia nilai sukses, ada juga sejumlah upaya yang dinilai tidak membawa dampak apapun.
Menurut Yusuf, salah satu faktor yang menyebabkan efektivitas paket kebijakan ekonomi Indonesia cenderung angin-anginan adalah sifat paket tersebut yang cenderung reaktif. Paket-paket ekonomi yang dirancang dan dikeluarkan adalah respons pemerintah terhadap situasi ekonomi global dan pengaruhnya terhadap Indonesia hanya pada beberapa waktu tertentu.
Karakteristik paket kebijakan tersebut berakibat pada minimnya kajian yang dilakukan kementerian/lembaga terkait. Kurangnya studi yang dilakukan, lanjutnya, pada akhirnya akan mempengaruhi efektivitas sebuah paket kebijakan ekonomi.
“Reaktif memang perlu, tetapi substansi kebijakan yang dikeluarkan lebih penting dan harus komprehensif,” kata Yusuf saat dihubungi beberapa waktu lalu.
Ia mencontohkan insentif untuk industri galangan kapal pada paket kebijakan ekonomi XV yang dikeluarkan pada 2017. Kala itu, pemerintah akan memberikan insentif berupa pemotongan pajak. Namun, katanya, kenyataan di lapangan banyak pelaku usaha yang tidak mendapat keringanan ini.
Selain itu, industri galangan kapal adalah sektor ekonomi yang bersifat padat modal. Ia menilai perlu ada insentif pendukung lain selain pemotongan pajak yang berpotensi membantu penurunan defisit transaksi berjalan Indonesia.
Faktor lain yang mengurangi efektivitas paket kebijakan ekonomi adalah rentang pemberlakuan kebijakan yang cenderung singkat. Hal ini merupakan dampak tambahan dari sifat paket kebijakan yang reaktif.
“Kebanyakan paket [yang dikeluarkan] seperti setengah-setengah. Paket kebijakan ekonomi yang dikeluarkan pemerintah menangkap permasalahan di satu sektor, tetapi melewatkan permasalahan pada sektor lain,” jelas Yusuf.
Selain itu, ia menambahkan koordinasi yang dilakukan kementerian/lembaga dalam perancangan paket kebijakan masih kurang baik. Akibatnya, ada poin-poin dalam paket kebijakan yang luput dari perhatian instansi negara.
“Perbaikan koordinasi akan mendorong pembahasan paket kebijakan yang lebih jelas dan mencakup seluruh permasalahan ekonomi Indonesia sehingga ke depannya, dapat mendorong pertumbuhan [ekonomi]," kata Yusuf.
Sebelumnya, pemerintah juga telah memulai proses evaluasi Paket Kebijakan Ekonomi XVI yang difokuskan untuk revisi Daftar Negatif Investasi (DNI).
Sekretaris Kementerian Koordinator Bidang Perekonomian Susiwijono Moegiarso mengatakan, evaluasi terkait tiga paket kebijakan ekonomi tersebut telah dilakukan. Paket perluasan tax holiday telah rampung dikaji dengan dikeluarkannya aturan turunan Peraturan Menteri Keuangan (PMK) Nomor 150 tahun 2018 yakni Peraturan Pemerintah Nomor 45 tahun 2019.
Sementara itu, insentif perpajakan bagi devisa hasil ekspor (DHE) industri berbasis sumber daya alam juga telah dikeluarkan pada Juli lalu. Hasil dari evaluasi tersebut adalah PMK Nomor 98/PMK.04/2019 yang ditandatangani 1 Juli 2019.
Adapun dari paket Daftar Negatif Investasi (DNI), Susiwijono mengatakan pemerintah tengah melakukan peninjauan ulang atas bidang-bidang usaha yang termasuk. Pada kebijakan awal, pemerintah mencadangkan 54 klasifikasi Baku Lapangan Usaha Indonesia (KBLI) kepada UMKM dari yang sebelumnya hanya kepada UKM. Kemudian, ada beberapa KBLI yang dibuka kepada investor asing hingga 100%.
“Terkait DNI, masih kami review lagi bidang-bidang mana yang nantinya dapat dimaksimalkan Indonesia,” ujarnya saat dihubungi pada Senin (23/9/2019).