Bisnis.com, JAKARTA – Pemilihan anggota Badan Pemeriksa Keuangan (BPK) dipandang sudah cacat sedari awal.
Ekonom Indef Enny Sri Hartati mengatakan pemilihan BPK yang sesungguhnya merupakan lembaga profesional dipilih melalui mekanisme politik.
"Persoalannya dalam prosedur dan tata cara pemilihannya. Dari awal memang penuh muatan politik karena memang DPR itu lembaga politik," ujar Enny, Rabu (25/9/2019).
Oleh karena itu, tidak mengherankan apabila seseorang dengan latar belakang politik terpilih menjadi anggota BPK dengan suara terbanyak dari anggota dewan.
"Pasti sudah ada deal semisal Ketua DPR siapa, Ketua MPR siapa, Ketua BPK siapa. Ini menafikan pendapat publik, kalau publik tafsir begitu ya susah ditampik," lanjut Enny.
Enny pun mengkhawatirkan kompetensi dari BPK dalam melakukan pemeriksaan keuangan atas seluruh lembaga negara ke depan.
Padahal, BPK merupakan lembaga profesional di bidang pemeriksaan dan Ketua BPK sebelumnya Harry Azhar Aziz memiliki kompetensi di bidang tersebut.
Di lain pihak, Direktur Riset Center of Reform on Economics (Core) Indonesia Pieter Abdullah menyesalkan bahwa ternyata tampuk Ketua BPK kembali diisi oleh orang berlatarbelakang politik.
"Kembali terpilihnya orang politik sebagai ketua BPK saya khawatirkan membuat posisi BPK menjadi tidak netral dan tidak menempatkan kepentingan nasional di atas segalanya. Semoga saya salah," ujarnya.
Untuk diketahui, Ketua BPK periode 2014-2019 Harry Azhar Aziz pernah menjabat sebagai Wakil Ketua Komisi XI DPR RI sebelum terpilih menjadi orang nomor satu lembaga tersebut. Harry sendiri sebelumnya merupakan anggota Golkar.
Calon anggota BPK dengan perolehan suara terbanyak dengan 43 suara Pius Lustrilanang merupakan anggota Gerindra.
Merujuk pada website Gerindra, Pius saat ini menjabat sebagai Ketua Bidang Koordinasi dan Pembinaan Organisasi Sayap Partai di bawah Widjono Hardjanto yang merupakan Wakil Ketua Umum Bidang Organisasi dan Keanggotaan.