Bisnis.com, JAKARTA – Pelaku industri di dalam negeri menilai pemerintah belum dapat memanfaatkan peluang relokasi pabrikan China ke negara lain akibat perang dagang. Hal tersebut utamanya disebabkan oleh dua hal yakni kemudahan mendirikan usaha dan undang-undang (UU) ketenagakerjaan yang tidak atraktif.
Asosiasi Persepatuan Indonesia (Aprisindo) menyatakan walaupun telah ada fasilitas online single submission (OSS) proses perizinan pendirian pabrik masih memakan waktu yang lama. Selain itu, rantai pasok bahan baku industri alas kaki pun belum tersedia di dalam negeri.
Ketua Aprisindo Budiarto Tjandra mengatakan tidak ada pergerakan relokasi besar-besaran ke Indonesia pada International Footwear Conference beberapa bulan lalu. Menurutnya, ada tiga negara tujuan relokasi abrikan bagi para pengusaha China di Asia Tenggara yakni Indonesia, Vietnam, dan Thailand.
“Ada 1—2 [pabrikan China yang relokasi] ke negara lain. Ke Indonesia saya belum lihat Di Indonesia ini kayaknya tidak gampang [mendirikan pabrik]. Misalnya, proses perizinan dan biaya produksi yang tinggi, mereka [pengusaha China] masih ada kekhawatiran itu,” ujarnya kepada Bisnis belum lama ini.
Budi mengatakan setidaknya ada empat kekhawatiran yang menahan pabrikan alas kaki China untuk merelokasi ke dalam negeri. Pertama, sistem perizinan daring yang masih memakan waktu yang lama. Kedua, rantai pasok bahan baku yang belum lengkap di dalam negeri.
Ketiga, biaya pesangon yang tinggi dibandingkan dengan negara tujuan lainnya. Budi menghitung biaya pesangon yang dikeluarkan pabrikan dalam negeri untuk pegawai dengan masa bakti 10 tahun adalah 25 kali gaji, sedangkan biaya pesangon di Vietnam hanya 5 kali gaji. “Itu kan jadi cost.”
Keempat, fleksibilitas pabrikan untuk menarik dan melepas tenaga kerja sangat minim di dalam negeri. Alhasil, lanjutnya, pabrikan China berpikir akan terjebak dalam situasi harus mengeluarkan biaya tinggi atau terjebak dengan tenaga kerja dengan produktivitas rendah.
Salah satu alasan pabrikan alas kaki China memutuskan untuk melakukan relokasi adalah dampak dari potensi penambahan tarif sebesar 25% pada akhir tahun ini. Budi menilai penarikan pabrikan tersebut ke dalam negeri menjadi penting.
Hal tersebut disebabkan oleh karakteristik produk yang dihasilkan pabrikan China dan pabrikan lokal. Menurutnya, produk alas kaki China yang akan dikenakan tarif tambahan tersebut memiliki harga jual yang lebih murah. Adapun, pabrikan alas kaki lokal memproduksi alas kaki untuk merek-merek internasional dengan harga jual yang lebih tinggi.
“China ekspor ke Amerika Serikat itu lebih banyak non-brand atau [alas kaki] yang generik. [Alas kaki] China itu average FoB [free on board/harga jual]-nya di bawah US$9 kalau ekspor ke Amerika Serika,” ujarnya.
Budi berharap pemerintah akan meningkatkan tingkat atraksi investasi di dalam negeri agar dapat memanfaatkan peluang perang dagang tersebut. Adapun, Indonesia merupakan eksportir terbesar keempat setelah China, Vietnam, dan Italia.