Bisnis.com, JAKARTA — Asosiasi Pengusaha Hutan Indonesia (APHI) mendukung rencana perampasan keuntungan perusahaan yang terbukti melakukan kebakaran hutan dan lahan (karhutla).
Direktur APHI Purwadi Soeprihanto mengatakan korporasi yang menetapkan tata kelola yang baik pasti memahami peraturan larangan pembakaran hutan dan lahan, serta sanksi-sanksi yang akan diterima jika dilanggar.
“Karena itu, sanksi pidana, perdata, termasuk perampasan keuntungan adalah risiko yang harus ditanggung korporasi jika peraturan dilanggar,” ujarnya kepada Bisnis, Senin (23/9/2019).
Namun, dia memberi catatan, dalam pemberian sanksi tersebut, pemerintah harus cermat. Perusahaan yang dikenakan sanksi harus terbukti dengan fakta dan data yang ada melakukan pembakaran hutan dan lahan.
Jika kebakaran yang terjadi di areal korporasi disebabkan oleh tindakan pihak lain atau oknum-oknum yang tidak bertanggung jawab, menurut Purwadi, selayaknya perlu dipertimbangkan secara cermat pengenaan sanksi perampasan keuntungan tersebut.
Sementara itu, Dekan Fakultas Kehutanan Universitas Tanjungpura Gusti Hardiansyah meminta pemerintah hati-hati dalam menindak perusahaan dalam kasus karhutla. Menurutnya, ada tiga kategori korporasi yang terlibat karhutla.
Pertama, korporasi yang memang melakukan karhutla dengan unsur-unsur yang bisa dibuktikan. Kedua, korporasi yang lahannya terbakar tetapi dia adalah korban bukan adanya unsur kesengajaan. Ketiga, korporasi yang main di dua kaki dalam kasus ini.
“Nah yang harus diperhatikan pemerintah, yakni korporasi yang menjadi korban karhutla apalagi patuh untuk mencegahnya. Enggak boleh mencari kambing hitam saja, yang dilihat bukti di lapangan. Namun, jika perusahaan memenuhi unsur [membakar hutan], silakan diproses,” ujarnya kepada Bisnis.