Bisnis.com, JAKARTA — Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KLHK) berencana mengenakan sanksi pidana tambahan berupa perampasan keuntungan perusahaan yang terbukti melakukan kebakaran hutan dan lahan (karhutla), yang bisa berlaku surut.
Direktur Jenderal Penegakan Hukum KLHK Rasio Ridho Sani mengatakan perusahaan yang sebelumnya terbukti melakukan karhutla pada 2015 bisa saja dijerat dengan sanksi ini. Hal tersebut terjadi apabila lahan bekas karhutla saat ini sudah menjadi perkebunan atau milik konsesi.
Rasio menjelaskan pidana tambahan itu dilakukan sebagai upaya penguatan efek jera kepada pelaku karhutla, khususnya korporasi. Pidana ini diatur dalam Pasal 119 huruf (a) UU 32/2009 tentang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup (UUPPLH), yakni badan usaha dapat dikenakan pidana tambahan atau tindakan tata tertib berupa perampasan keuntungan yang diperoleh dari tindak pidana.
“Kami terapkan pidana tambahan. Kami akan lakukan perampasan keuntungan. Kami telusuri sekian tahun ke belakang, ini kami sedang dalami,” kata Rasio, Senin (23/9/2019).
Dalam penegakan hukum terhadap pelaku karhutla, KLHK menerapkan sanksi administratif berupa teguran tertulis, paksaan pemerintah, pembekuan izin lingkungan, dan pencabutan izin lingkungan. Berikutnya, mereka juga menggunakan gugatan perdata dan penegakan hukum pidana.
Dia menyebut, sangat mudah menemukan lokasi yang dibakar dan ternyata sudah ditanami karena KLHK telah membuat sistem yang mampu melakukan ketertelusuran. Untuk pembuktiannya, lanjut Rasio, pihaknya akan melakukan pendekatan forensik.
Hingga Senin (23/9/2019), KLHK telah menyegel 52 perusahaan yang terlibat kebakaran hutan dan lahan. Jumlah ini bertambah dari sebelumnya ada 42 perusahaan pada 14 September 2019.