Bisnis.com, JAKARTA -- Center for Indonesian Policy Studies (CIPS) menyebut, implementasi sistem pelayanan kesehatan yang diterapkan di Indonesia perlu disesuaikan kembali dan mengacu pada Sustainable Development Goals (SDGs).
Peneliti Center for Indonesian Policy Studies (CIPS) Felippa A. Amanta mengatakan, bagi negara-negara anggota PBB, peningkatan akses layanan kesehatan yang berkualitas seharusnya tetap menjadi fokus yang harus dicapai.
Hal ini merupkan salah satu sasaran dari SDGs yang terkait dengan kesehatan. Indonesia, sebagai salah satu negara anggota PBB, juga perlu terus berinovasi dalam memberikan layanan kesehatan bagi warganya.
Felippa menjelaskan, ada beberapa hal yang perlu diperhatikan dalam sistem pelayanan kesehatan di Indonesia. Tarif obat-obat penting yang tinggi dan kebijakan perdagangan yang terlalu protektif membuat harga obat menjadi mahal dan membatasi pilihan obat yang ada.
Kedua hal tersebut yang menyebabkan jenis obat yang beredar di Indonesia tidak sebanyak di negara-negara lain. Hanya setengah dari jenis obat-obatan penting yang ada dalam daftar WHO yang beredar di Tanah Air.
“Survei dari sekitar 9.000 penyedia layanan kesehatan menemukan bahwa 85% dari mereka hanya memiliki sekitar 80% dari total obat-obatan penting yang ada dalam daftar WHO. Hal ini dikhawatirkan akan menyebabkan pelayanan kesehatan untuk warga menjadi tidak maksimal. Keterbatasan pilihan juga menyebabkan mereka harus membayar lebih mahal untuk mendapatkan perawatan kesehatan,” kata Felippa dalam siaran pers yang diterima oleh Bisnis.com Rabu (18/9/2019).
Selain itu, Felippa menyebut berbelit-belitnya birokrasi juga menyebabkan biaya transaksi menjadi tinggi. Birokrasi yang tidak efisien juga menyebabkan adanya penundaan yang berdampak negatif bagi warga yang membutuhkan obat-obatan.
"Waktu yang dibutuhkan untuk obat baru bisa masuk ke pasar Indonesia adalah selama 1.057 hari dan 800 hari di China," ungkapnya.
Meskipun tarif obat rata-rata global secara keseluruhan telah turun dalam beberapa tahun terakhir, banyak negara masih menerapkan tarif untuk obat-obatan impor. Tingkat rata-rata pengenaan tarif tertinggi ditemukan di Asia Selatan dan Amerika Latin.
Berdasarkan database Tarif WTO, Nepal menjadi negara yang memberlakukan tarif tinggi untuk obat-obatan impor, yaitu sebesar 14,7%. Sementara itu, Indonesia menerapkan tarif sebesar 4,3%.
Meskipun banyak negara di luar perjanjian ini tidak mengenakan tarif pada obat-obatan, tetapi masih ada yang memberlakukannya. Faktanya, nilai perdagangan biofarmasi di seluruh dunia di negara-negara yang tidak termasuk dalam perjanjian meningkat lebih dari 20% antara tahun 2006 dan 2013. Indonesia sendiri menerapkan tarif pada impor pada bahan-bahan farmasi yang dibutuhkan untuk memproduksi obat. Hal ini, lanjut Felippa, tentu berdampak pada harga jual obat tersebut.
“Indonesia juga idealnya mulai menghapuskan hambatan nontarif dalam perdagangan. Hal ini penting untuk menjaga stabilitas harga obat. Ke depannya hal ini tentu berdampak pada kualitas hidup warganya,” ujarnya.
Beberapa hal yang termasuk ke dalam kebijakan nontarif antara lain adalah prosedur bea cukai yang tidak efisien, prosedur ekspor / impor yang rumit, birokrasi administrasi, pajak yang tidak transparan dan infrastruktur perdagangan yang kurang digunakan.
Adapun untuk obat-obatan, Indonesia juga menerapkan persyaratan pelabelan dan pengemasan yang tidak mudah, kebutuhan importir untuk memiliki banyak izin dan lisensi dan persyaratan bahwa obat-obatan impor harus melewati pelabuhan tertentu.