Bisnis.com, JAKARTA — Pemerintah melalu Komite Pengamanan Perdagangan Indonesia (KPPI) memulai investigasi dan penyelidikan tindak pengamanan perdagangan industri tekstil dan produk tekstil (TPT).
Ketua KPPI Mardjoko mengatakan, proses penyelidikan telah dimulai akhir pekan lalu setelah Asosiasi Pertekstilan Indonesia (API) mengajukan permohonan pengenaan bea masuk tindak pengamanan (BMTP) terhadap produk TPT dari hulu hingga hilir.
Dia mengakui selama 3 tahun terakhir, terdapat kenaikan impor produk TPT hingga 10%. Fakta itu diperoleh dari pemeriksaan awal KPPI terhadap 120 kode HS produk TPT. Namun, dia tidak dapat menyebutkan produk apa saja yang mengalami lonjakan impor selama rentang tersebut.
“Proses penyelidikan sudah kami mulai, sembari menunggu sejumlah kelengkapan dokumen dan data dari API yang belum diserahkan. Hanya kurang beberapa dokumen saja yang belum diserahkan oleh API untuk memenuhi syarat minimum pengenaan safeguard di WTO,” katanya kepada Bisnis.com, Minggu (15/9/2019).
Dia menambahkan, BMTP dapat dilakukan apabila telah terbukti produk impor merugikan industri TPT Tanah Air. Pembuktian tersebut dapat dipenuhi apabila terdapat penurunan rasio keuangan yang sangat drastis dari perusahaan di industri terkait selama periode tertentu.
Untuk itu, selain melakukan pemeriksaan laju impor produk TPT dari hulu hingga hilir, KPPI akan memeriksa sejumlah data dan dokumen keuangan perusahaan-perusahaan TPT Indonesia, seperti rasio likuiditas, rasio solvabilitas, hingga rasio profitabilitas.
Baca Juga
“Namun, kami tidak bisa menjamin besaran BMTP yang akan diterapkan sesuai dengan yang diinginkan pelaku usaha. Besaran BMTP akan disesuaikan dengan segala bentuk temuan dan bukti di lapangan beserta perhitungan bea masuk yang rasional. Kalau kita asal-asalan mengenakan BMTP, maka kita bisa menyalahi aturan WTO dan digugat negara lain,” jelasnya.
Mardjoko mengatakan, apabila seluruh kelengkapan dokumen pendukung penerapan BMTP telah diberikan oleh API, tindak pengamanan perdagangan tersebut dapat dilakukan pada tahun ini.
Ketua Umum API Ade Sudrajat menjanjikan seluruh kelengkapan dokumen penerapan BMTP akan diserahkan kepada KPPI pekan ini.
“Kami memang punya usulan berapa besaran BMTP yang ideal diberlakukan kepada impor produk TPT dari hulu hingga hilir. Namun, kalau besaran BMTP yang kami usulkan rupanya tidak sesuai hasil pemeriksaan, maka kita tidak bisa mengganggu gugat.”
Sebelumnya, Ade mengatakan besaran bea masuk yang diusulkan oleh API untuk serat sebesar 2,5%, benang 5%, kain 7% dan garmen 15%—18%. Menurutnya, usulan bea masuk yang bertingkat itu disesuaikan dengan kondisi industri tekstil Indonesia, yang kebutuhan bahan bakunya masih perlu diimpor.
Ketua Umum Ikatan Ahli Tekstil Seluruh Indonesia (Ikatsi) Suharno Rusdi mengatakan, besaran BMTP yang diusulkan API itu tidak akan berpengaruh banyak dan membantu industri TPT nasional kembali sehat.
“Perbedaan harga antara kain lokal dengan kain impor ditingkat konsumen saat ini rata-rata hanya 15% sampai 20%. Di tingkat pengecer berkisar 30%—40%, tetapi harga asli di gudang importir perbedaannya bisa 60% karena disana kami melihat ada praktik dumping, under invoice hingga under declare volume,” ujar Rusdi dalam siaran pers, Minggu (15/9).
Untuk itu, dia mengusulkan agar besaran BMTP yang diberlakukan untuk produk kain di sebesar 80%, benang 60%, dan garmen di atas 100%. Selain itu, dia juga meminta pemerintah segera mengambil tindakan menghentikan impor sementara dengan tidak memberikan izin untuk impor dan mengeluarkan TPT dengan kode HS 50-63 dari seluruh pusat logistik berikat (PLB).