Bisnis.com, JAKARTA — Kementerian Pekerjaan Umum & Perumahan Rakyat mengungkapkan bahwa progres registrasi alat berat yang dimulai sejak 2018 masih lambat yakni sekitar 28.000 unit atau 35 persen dari perkiraan populasi alat berat yang mencapai 80.000 unit.
Salah satu penyebabnya adalah keengganan para pengusaha pemilik alat berat untuk melaporkan asset mereka lantaran khawatir data registrasi alat akan menjadi sumber pemungutan pajak.
Ketua Umum Asosiasi Pengusaha dan Pemilik Alat Berat dan Konstruksi Seluruh Indonesia (Appaksi) Dipar Tobing mengatakan bahwa masih banyak pengusaha pemilik alat berat yang takut terbelit masalah pajak.
Selain itu, sejumlah pengusaha yang hanya memiliki sedikit alat berat masih beranggapan tidak perlu ikut melaporkan asset mereka.
"Kendalanya pertama, masih banyak pengusaha yang takut dikejar-kejar [pemungutan] pajak. Kedua, ada beberapa pengusaha yang hanya memiliki sedikit alat berat dan alat berat yang usianya tua [sehingga mereka] merasa tidak perlu meregistrasi asset mereka," ujarnya kepada Bisnis, Selasa (10/9/2019).
Appaksi, lanjutnya, memahami tujuan baik atau manfaat dari program pemerintah tersebut.
Baca Juga
Menurut Dipar, dengan alat berat yang teregistrasi akan meminimalisasi risiko kecelakaan kerja karena secara otomatis kondisi alat berat terus terpantau.
Dipar mengatakan bahwa asosiasi masih terus melakukan diskusi dengan pihak terkait seperti Kementerian PUPR dan berharap agar ada solusi terkait dengan permasalahan pajak yang dikhawatirkan para pengusaha tersebut.
Padahal, dalam catatan Bisnis, Mahkamah Konstitusi sudah memutuskan bahwa alat berat bukan objek kendaraan bermotor sehingga tidak bisa ditagih pajak kendaraan bermotor dan bea balik nama kendaraan bermotor.
"Diskusi terus dilakukan untuk mendapat solusi terbaik sehingga program pemerintah [registrasi alat berat] berjalan dengan lancar," katanya.