Bisnis.com, JAKARTA -- Global Destination Cities Index 2019 yang dirilis oleh Mastercard mencatat setiap tambahan 1.000 kunjungan wisatawan ke Bali berhasil menyerap 409,3 tenaga kerja baru dengan rerata pendapatan per pekerja hanya US$2.620.
Capaian itu berbanding terbalik dengan di Singapura yang hanya menyerap 12,1 tenaga kerja baru setiap tambahan 1.000 kunjungan wisatawan, tetapi pendapatan rata-rata per pekerja di sektor turisme mencapai US$93.062.
Hal tersebut tentu menjadi pertanyaan lantaran rerata belanja kedua negara nilainya tak jauh berbeda. Nilai rerata belanja wisatawan ke Indonesia sebesar US$1.072 dan Singapura sebesar US$1.124.
Rendahnya pendapatan per pekerja dinilai menandakan masih rendahnya produktivitas pekerja pariwisata di Bali, destinasi yang menjadi tulang punggung sektor pariwisata di Tanah Air.
Ketua Ikatan Cendekia Pariwisata Indonesia (ICPI) Azril Azhari mengatakan, tingginya penyerapan tenaga kerja di sektor pariwisata Bali yang tidak diimbangi oleh tingginya pendapatan tenaga kerja merupakan salah satu bukti dari ketertinggalan sektor pariwisata di Indonesia.
Saat ini pemerintah dinilai hanya fokus pada target kunjungan wisatawan semata tanpa memperhatikan lebih lanjut kualitas dari destinasi wisata yang ditawarkan, termasuk kualitas sumber daya manusia (SDM).
Selain itu, kurangnya keterlibatan masyarakat dalam pengelolaan fasilitas penunjang di destinasi wisata juga menjadi salah satu faktor yang mempengaruhi rendahnya rerata upah pekerja pariwisata.
“Masyarakat setempat kurang dilibatkan, pemerintah terus menerus menarik investor untuk mengembangkan fasilitas [di destinasi wisata} yang pastinya akan mengambil keuntungan sebesar-besarnya dari kegiatan pariwisata, keuntungan bagi masyarakat ada, tapi tak banyak,” kata Azril kepad Bisnis.com, Rabu (4/9/2019).
Lebih lanjut, Azril menilai, sudah seharusnya pemerintah melibatkan masyarakat setempat secara langsung dalam pengembangan fasilitas penunjang di destinasi wisata untuk meningkatkan kesejahteraan masyarakat setempat.
Keterlibatan masyarakat setempat secara langsung terbukti berhasil meningkatkan kualitas dari suatu destinasi wisata.
“Pengelolaan yang community based, contohnya salah satu resort yang ada di Sumba itu termasuk dalam salah satu yang terbaik di dunia, memang ada [keterlibatan] orang asing, tapi masyarakat yang punya andil besar, pekerja pariwisata disana kualitas dan produktivitasnya meningkat,” ungkapnya.
Selain dilibatkannya masyarakat setempat, hal lain yang juga perlu diperhatikan oleh pemerintah adalah kualitas wisatawan.
Pasalnya, rendahnya pendapatan tenaga kerja pariwisata di Indonesia, khususnya Bali saat ini merupakan ekses dari banjirnya wisatawan menengah kebawah yang berwisata dengan biaya seminim mungkin.
“Bagaimana kita mau dapat pendapatan besar? Turis yang masuk itu turis-turis backpacker, spending-nya rendah, jumlah banyak tapi tidak ada spending belanja, kuliner diluar akomodasi ya percuma,” kata Azril.
Oleh karena itu, dia meminta agar pemerintah tidak hanya sibuk melakukan branding pariwisata untuk mencapai target kunjungan tanpa mempertimbangkan kualitas wisatwan yang datang.
Menurutnya sektor pariwisata tidak hanya bisa dipandang sebagai masuknya devisa ke Tanah Air semata, perlu dipertimbangkan juga seberapa besar kontribusinya terhadap Produk Domestik Bruto (PDB).
“Saya pernah menemukan ada turis low budget yang hanya makan mi instan, tak belanja, kalau terlalu banyak yang seperti itu buat apa?” kata Azril.