Bisnis.com, DUBLIN – Pengusaha Irlandia optimistis ekspor produk susu olahan (dairy products) ke pasar nontradisional terus berkembang, terutama di kawasan Asia Tengah dan Asia Tenggara, seiring dengan dampak Brexit yang ikut mengganggu perekonomian negara ini.
Ailish Forde, Director of Markets Bord Bia, mengatakan bahwa dampak Brexit membuat para pelaku industri dairy products di dalam negeri mulai realistis dengan mencari peluang baru guna membuka dan memperkuat jaringan global produk-produk tersebut di luar pasar Eropa dan AS.
“Kami punya sejumlah strategi dalam 3 tahun untuk fokus ke sejumlah pasar baru dan memperkuat pasar tradisional juga. Kami terus melakukan campaign ke China, Jepang, dan beberapa kawasan lain seperti Asia Tenggara serta terus memperkuat sejumlah brand kami di Jerman untuk produk butter," katanya dalam konferensi pera dengan Bisnis bersama dua jurnalis Indonesia lainnya, Rabu (28/8/2019).
Elaine Crosse, Consumer Dairy Manager, menjelaskan bahwa dampak Brexit membuat ekspor dairy product ke pasar tradisional seperti Inggris cukup terdampak. Dalam beberapa tahun belakangan, ungkapnya, ekspor produk dairy Irlandia ke Inggris secara akumulatif anjlok 40 persen. Kondisi itu turut berdampak pada penurunan ekspor Irlandia secara nasional.
“Ada lima besar pasar ekspor dairy products Irlandia di dunia seperti Inggris, China, Belanda, Jerman, dan AS. Namun, Brexit membuat ekonomi Irlandia dalam tekanan. Penting buat kami agar industri ini segera mengubah strategi, refocusing, rethinking untuk masa depan pasar Irlandia yang lebih baik,” ucapnya.
Menurutnya, Irlandia adalah lima besar negara pengekspor dairy products di dunia dengan total ekspor pada 2018 mencapai 4 miliar euro. Nilai tersebut tumbuh sekitar 13 persen dibandingkan dengan ekspor dairy products Irlandia pada tahun sebelumnya. Untuk mempertahankan pasar dari tekanan Brexit, papar Crosse, Irlandia akan melakukan penetrasi ke pasar nontradisional seperti Asia Tenggara.
Indonesia dan Malaysia, ujarnya, menjadi target pasar baru di Asia Tenggara karena kebutuhan untuk produk-produk olahan susu terus berkembang. “Indonesia masih defisit daging sapi cukup besar atau sekitar 40 persen sedangkan Malaysia untuk produk dairy seperti keju juga masih kurang. Kami melihat prospek yang bagus di sini,” katanya.
Forde menambahkan, untuk masuk ke pasar Indonesia sangat tidak mudah bagi Irlandia karena ada banyak tantangan seperti persaingan dengan produk-produk serupa dari Australia dan Selandia Baru yang telah dominan di Indonesia. Selain itu, tak seperti Australia dan Selandia Baru, Irlandia tidak memiliki perjanjian dagang dengan Indonesia, sehingga sejumlah fasilitas perdagangan dan fiskal tidak bisa dinikmati.
“Kami akan terus mendorong adanya misi dagang [ke Indonesia] termasuk pada tahun ini, melakukan upaya pendekatan B-to-B dan B-to-C bagi produk dairy kami, dan mungkin saja ada peluang melakukan partnership. Yang pasti, kami ingin terus melakukan kampanye tentang Irlandia dan industri peternakannya,” tuturnya.
Hambatan Tarif
Cormac Nolan, Consumer Insight Specialist for Bord Bia, mengatakan bahwa Indonesia masih sangat kekurangan dairy products seperti kelompok susu bubuk dan susu cair. Namun, dia khawatir hambatan tarif yang dikenakan Indonesia untuk produk-produk Uni Eropa akan turut berdampak kurang menguntungkan bagi Irlandia. Padahal, sejumlah produk susu olahan dari Irlandia cukup menjanjikan untuk pasar Indonesia yaitu susu bubuk, susu cair, butter, hingga keju.
Dari total impor bahan olahan susu (dairy ingredients) Indonesia sebesar 340.835 ton pada 2017, tuturnya, Selandia Baru menjadi kontributor utama impor Indonesia dengan pangsa pasar 25 persen. Angka ini disusul oleh Prancis (16 persen), Australia dan Amerika Serikat yang masing-masing 14 persen, Belanda (5 persen), dan negara lainnya (25 persen).