Bisnis.com, JAKARTA — Pelaku industri keramik dalam negeri meminta pemerintah segera menurunkan harga gas sesuai yang dijanjikan.
Salah satu beleid yang mengatur mengenai harga gas adalah Peraturan Menteri Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) Nomor 58/2017 tentang Harga Jual Gas Bumi Melalui Pipa Pada Kegiatan Usaha Hilir Minyak dan Gas Bumi. Realisasi aturan tersebut diharapkan bisa memberikan penurunan harga jual gas bumi.
Beleid tersebut mengatur tata cara perhitungan dan penetapan harga jual gas bumi hilir untuk penyediaan tenaga listrik dan industri dan berlaku sejak 29 Desember 2017.
Dalam aturan ini tertuang bahwa Badan Usaha Pemegang Izin Usaha Niaga Minyak dan Gas Bumi yang telah ada sebelum Peraturan Menteri ini berlaku wajib menyesuaikan dengan ketentuan dalam Peraturan Menteri ini dalam jangka waktu paling lama 18 bulan sejak Peraturan Menteri ini berlaku.
Ketua Asosiasi Aneka Industri Keramik Indonesia (Asaki) Edy Suyanto mengatakan pihaknya masih menunggu hasil implementasi dari Permen ESDM tersebut, yang diharapkan bisa memberikan penurunan harga jual gas.
“Seharusnya per 1 Juli 2019 penurunan harga gas ini sudah berlaku, tetapi sampai saat ini industri keramik belum mendapatkan kabar baik berkaitan penurunan harga gas,” ujarnya Senin (19/8/2019).
Pihaknya terus menagih penurunan harga gas karena sebelumnya Pemerintah juga telah merilis Peraturan Presiden Nomor 40 Tahun 2016 tentang Penetapan Harga Gas Bumi pada 3 Mei 2016.
Menurut Perpres ini, dalam hal harga gas bumi tidak dapat memenuhi keekonomian industri pengguna dan harga lebih tinggi dari US$6 MMBTU, Menteri ESDM dapat menetapkan harga gas bumi tertentu. Penetapan harga gas bumi tertentu sebagaimana dimaksud diperuntukkan bagi pengguna yang bergerak di bidang industri pupuk, industri petrokimia, industri oleokimia, industri baja, industri keramik, industri kaca, dan industri sarung tangan.
Namun, hingga kini baru 3 industri yang merasakan penurunan harga gas, yaitu pupuk, baja, dan petrokimia. Edy menjelaskan harga gas untuk industri keramik sangat vital karena menyumbang 30%-35% dari total biaya produksi.
Peran penting harga gas ini terlihat ketika terjadi kenaikan harga sekitar 55% pada 2013. Saat harga dinaikkan, daya saing industri keramik Indonesia langsung turun secara drastis.
“Sebelumnya, industri keramik nasional mampu mengekspor 15% dari total produksi, tetapi saat ini hanya di bawah 5% karena daya saing menurun.”
Sebagai perbandingan harga gas untuk industri di Malaysia berkisar US$7,85—US$8 per MMBTU, di Thailand sekitar US$8,5 per MMBTU, dan Vietnam US$8,7 per MMBTU, sedangkan harga gas di Jawa bagian barat US$9,16 per MMBTU, Jawa bagian timur US$7,98 per MMBTU, dan Sumatra sekitar US$9,3—US$10 per MMBTU.
“Lebih dari 85% industri keramik berada di Jawa bagian barat, dengan demikian kami tidak bisa memanfaatkan pasar ekspor ke sesama negara Asia Tenggara karena harga gas yang lebih tinggi,” katanya.