Bisnis.com, JAKARTA -- Pengamat menilai asumsi makro dalam RAPBN 2020 belum peka atas dinamika kondisi global yang penuh dengan ketidakpastian.
Wakil Direktur Institute for Development of Economics and Finance (Indef) Eko Listiyanto menyatakan, asumsi makro ekonomi global yang berpeluang krisis tidak menjadi pertimbangan dalam Nota Keuangan RAPBN 2020.
Pesimisme ekonomi global ini tak lepas dari perang dagang yang sempat berimbas pada perang kura melalui devaluasi yuan dari China.
"Mungkin saja ke depannya ada nanti investment war. Ketika semua aspek mengetat, ini berebut ada yang menang dan kalah jadi ada resiko eksternal," papar Eko di Kantor Indef, Senin (19/8/2019).
Berdasarkan data dari World Economic Outlook IMF, pada 2018 volume perdagangan dari 3,7% pada 2018 menjadi 2,5% pada 2019. Begitu pula pertumbuhan ekonomi global juga menurun pada 2018 sebesar 3,6% menjadi 3,2%.
Eko menyebutkan tensi perang dagang akan memanas seiring dengan dekatnya Pilpres AS. Menurut Eko, di balik perang kurs yang memanas, dan perang dagang kembali memanas, ada motif politik.
Pasalnya, upaya perang dagang yang mengendor kerap memberi dampak pada penurunan elektabilitas Trump. Sebaliknya, ketika Trump mewacanakan tarif ada efek elektoral yang menaikkan suara Trump.
"Maka mau tak mau dia akan mewacanakan itu terus memastikan 2020 dia menang," ujar Eko.
Alhasil strategi ini memberi implikasi besar bagi dunia yang menghadapi ketidakpastian.
"Maka saya tak yakin dengan angka RAPBN 2020. Saya tak yakin 2020 bisa tercapai 5,3," jelas Eko.
Dia menjelaskan bahwa RAPBN 2020 belum menggambarkan mitigasi krisis. Misalnya, postur RAPBN 2020 belum menggambarkan dampak pada resesi Amerika Serikat.
Dia menjelaskan target pertumbuhan ekonomi 5,3% sebenarnya juga tak berbeda dari target pertumbuhan tahun ini. Padahal tahun ini saja target pertumbuhan baru pada kisaran 5,05% - 5,06%.
Dia menyatakan seharusnya jika belanja dan penerimaan juga dinaikkan, pertumbuhan ekonomi bisa ditargetkan lebih dari 5,3%.
"Artinya, kebijakan fiskal tahun ini 2019 itu berarti bukan stimulus ekonomi tapi stimulus politik," jelas Eko.