Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Impor dari China Melonjak, Upaya Pengendalian Mendesak

Impor nonmigas dari China mengalami kenaikan paling tinggi sepanjang tahun ini pada Juli 2019. Catatan ini berpeluang berlanjut pada bulan-bulan berikutnya, lantaran adanya kebijakan devaluasi nilai tukar renminbi oleh Pemerintah China.
Ilustrasi/chinatechnews.com
Ilustrasi/chinatechnews.com

Bisnis.com, JAKARTA — Impor nonmigas dari China mengalami kenaikan paling tinggi sepanjang tahun ini pada Juli 2019. Catatan ini berpeluang berlanjut pada bulan-bulan berikutnya, lantaran adanya kebijakan devaluasi nilai tukar renminbi oleh Pemerintah China.

Berdasarkan data Badan Pusat Statistik (BPS), impor nonmigas RI dari China pada Juli 2019 naik US$1,5 miliar dari bulan sebelumnya. Kenaikan ini menjadi yang paling tinggi sepanjang tahun ini. 

Lonjakan impor nonmigas dari China ini juga lebih tinggi dibandingkan dengan negara lain seperti Jepang dan Italia yang menempati posisi kedua dan ketiga sebagai negara  dengan nilai kenaikan impor paling tinggi pada Juli. Sebagai catatan nilai impor dari Jepang pada Juli 2019, tumbuh US$251,4 juta secara bulanan, sementara dari Italia tumbuh US$231,3 juta. 

Kepala Badan Pusat Statistik (BPS) Suhariyanto mengatakan, lonjakan impor dari China tersebut a.l. disebabkan oleh tumbuhnya impor sejumlah produk konsumsi. 

“Barang-barang yang mengalami kenaikan impor paling tinggi dari China adalah telepon genggam, laptop atau komputer pribadi, alat pendingin udara dan kepiting beku,” ujarnya, Kamis (15/8/2019).

Wakil Ketua Umum Bidang Perdagangan Kamar Dagang dan Industri (Kadin) Benny Soetrisno mengatakan, hal itu terjadi lantaran China mulai kesulitan untuk memasarkan produk barang jadinya ke AS karena adanya perang dagang dengan negara tersebut.

Hal itu membuat China mencari negara dengan potensi konsumsi yang besar terhadap produk-produk yang dihambat impornya oleh AS.

“Kalau melihat komoditas yang mengalami lonjakan impor, produk-produk tersebut adalah yang disetop impornya oleh AS, seperti alat elektronik. Kita sebagai negara dengan konsumen yang besar, tentu menjadi sasaran empuk bagi produk-produk dari China,” katanya, ketika dihubungi oleh Bisnis.com.

Dia khawatir, dengan adanya kebijakan devaluasi nilai tukar mata renminbi oleh China, akan makin meningkatkan potensi lonjakan impor terhadap barang-barang konsumsi tersebut. Untuk itu, dia meminta pemerintah mengawasi dan mengontrol pertumbuhan barang-barang konsumsi tersebut. 

Menurutnya, tanpa adanya kontrol impor yang ketat dari pemerintah, maka akan merusak industri domestik dan membuat defisit neraca perdagangan dengan China makin melebar. Dia menyebutkan, pengetatan impor melalui kebijakan nontarif seperti standar nasional Indonesia (SNI) bisa menjadi alat untuk membendung impor produk China tersebut.

impor dari china
impor dari china

DAGANG-EL

Sekretaris Jenderal Gabungan Importir Nasional Seluruh Indonesia (GINSI) Erwin Taufan mengatakan, produsen asal China cukup mudah untuk memasarkan produknya ke Indonesia lantaran masifnya kehadiran platform dagang elektronik (dagang-el) yang membuka jasa pembelian secara langsung dari Negeri Panda. 

Berdasarkan penelusurannya, barang-barang konsumsi seperti ponsel dan alat elektronik menjadi yang paling besar diimpor dari China selain produk pakaian.

“Kunci untuk mengendalikan lonjakan impor barang konsumsi dari China adalah buatkan aturan baku bagi platform dagang-el ketika melakukan transaksi cross border. Selama tidak ada payung hukum yang jelas mengenai kebijakan tersebut, impor barang konsumsi akan terus tumbuh, dan lonjakan impor dari China akan terus terjadi,” ujarnya.

Tindakan pelemahan nilai tukar renminbi oleh Negeri Panda, lanjutnya, akan membuat Indonesia makin sulit membendung laju impor produkp-produk dari negara itu. Pasalnya, pemerintah Indonesia tidak dapat melakukan pembatasan impor menggunakan skema tarif seperti halnya yang terjadi melalui praktik dumping maupun subsidi.

Ekonom Indef Bhima Yudhistira mengatakan, lonjakan impor produk China pada Juli disebabkan oleh dampak perang dagang antara China dan AS. Di sisi lain, dia juga menduga, kebijakan pengendalian impor produk konsumsi melalui pajak penghasilan (PPh) pasal 22 masih belum bertaji lantaran masih adanya lonjakan impor terhadap produk seperti ponsel, pendingin udara dan laptop dari China.

“Pemerintah juga harus mengevaluasi kebijakan pengendalian impornya seperti melalui PPh pasal 22. Sebab, dengan makin murahnya produk asal China, kebijakan tersebut tidak akan berpengaruh banyak dengan harga jual produk tersebut di Indonesia,” ujarnya.

Dia khawatir, laju impor produk dari China akan terus tumbuh pada masa depan seiring mulai terasanya dampak devaluasi nilai tukar renminbi yang diperkirakan baru terasa pada dua hingga tiga bulan ke depan.

Terpisah, Direktur Jenderal Perdagangan Luar Negeri Kemendag Wisnu Wardhana mengaku belum bisa berkomentar banyak. Dia mengatakan, akan menyelidiki secara lebih jauh penyebab utamanya lonjakan impor nonmigas dari China pada Juli lalu. 

“Saya akan cek dahulu penyebabnya apa dan bagaimana nanti langkah antisipasinya. Begitu pula bagaimana cara kita nanti untuk mengantisipasi dampak negatif dari devaluasi nilai tukar renminbi oleh China,” katanya.

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News dan WA Channel


Topik

Konten Premium

Dapatkan informasi komprehensif di Bisnis.com yang diolah secara mendalam untuk menavigasi bisnis Anda. Silakan login untuk menikmati artikel Konten Premium.

Artikel Terkait

Berita Lainnya

Berita Terbaru

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

# Hot Topic

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Rekomendasi Kami

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Foto

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Scan QR Code Bisnis Indonesia e-paper