Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Aptrindo Keluhkan Minimnya Pengemudi Truk

Wakil Ketua Aptrindo, Kyatmaja Lookman, mengungkapkan profesi supir truk ini tidak dilirik oleh generasi millenials, padahal regenerasi profesi ini vital dalam urusan logistik darat.
Sejumlah truk yang akan menyeberang ke Sumatra antre sebelum masuk ke kapal roro di Pelabuhan Merak, Banten, Minggu (26/5/2019)./ANTARA-Asep Fathulrahman
Sejumlah truk yang akan menyeberang ke Sumatra antre sebelum masuk ke kapal roro di Pelabuhan Merak, Banten, Minggu (26/5/2019)./ANTARA-Asep Fathulrahman

Bisnis.com, JAKARTA – Asosiasi Pengusaha Truk Indonesia (Aptrindo) mengeluhkan kurangnya jumlah supir truk dibandingkan dengan jumlah truk yang beroperasi. Sementara itu, regenerasi profesi pengemudi truk pun minim.

Wakil Ketua Aptrindo, Kyatmaja Lookman, mengungkapkan profesi supir truk ini tidak dilirik oleh generasi millenials, padahal regenerasi profesi ini vital dalam urusan logistik darat.

“Putusnya regenerasi, lama-lama kondisi supir ini hanya 80 persen dari truk yang kita punya, sisanya, orang bisa beli unit tapi cari supirnya tidak,” jelasnya kepada Bisnis, Minggu (11/8/2019).

Berdasarkan data Badan Pusat Statistik (BPS) pada 2017, jumlah kendaraan angkutan barang di Indonesia mencapai 7.523.550 unit, artinya jumlah pengemudi hanya dapat memenuhi 80 persen dari total unit tersebut.

Lebih lanjut dia menuturkan, saat ini tidak ada seorang pun yang bercita-cita menjadi supir truk, alasannya selalu himpitan ekonomi atau sulitnya mencari kerja yang membuat orang memilih pekerjaan sebagai supir truk.

Kondisi ini diperparah dengan tidak adanya pendidikan formal menjadi supir truk. “[Prosesnya] selalu belajar dari kenek, tapi sekarang upah minimum regional [UMR] naik terus jadi kernet-kernet ini lebih memilih jadi buruh, supir ini jadi kehabisan kernet, habislah regenerasi tersebut,” paparnya.

Dia menilai masalah utama minimnya SDM supir truk tak hanya dari sisi kuantitas tetapi dari sisi kualitas pun karena tidak adanya sekolah khusus, hal ini menjadikan profesi supir tidak menarik. Belum lagi macet dan jarak yang jauh.

Kondisi faktual di lapangan angkutan logistik darat tersebut sering membuat para supir berspekulasi, karena lama mengerjakan sesuatu [pengiriman barang] sehingga hasil turun jadi pekerjaan tidak menarik.

Dia menjelaskan persyaratan menjadi supir truk sebenarnya gampang-gampang susah, karena persyaratannya cukup Surat Izin Mengemudi (SIM) saja.

“Kalau di [angkutan barang] tambang itu SIM saja tidak diharuskan, sementara dari SIM B1 ke B2 umum butuh lima tahun, sedangkan kita tidak punya program akselerasi, harus dijalani benar-benar 5 tahun,” ujarnya.

Di sisi lain, menurutnya menjadi supir truk itu tidak menguntungkan karena kondisi saat ini angkutan barang tengah oversupply, karena adanya inefisiensi dan kemacetan.

Dia mencontohkan, ketika biasanya satu truk dapat menempuh 25 trip atau perjalanan per bulannya menjadi hanya 15 trip per bulan.

“Khususnya di wilayah DKI Jakarta, dari 25 trip menjadi 15 trip, penghasilan pengemudi turun, padahal kebutuhan volume total masih sama dan meningkat,” jelasnya.

Kondisi tersebut membuat kebutuhan jumlah angkutan barang meningkat untuk jumlah pengiriman yang sama.

Contohnya, ketika ada 200 pengiriman dengan utilisasi truk 25 trip per bulan hanya membutuhkan 8 truk, tapi utilisasi turun menjadi 15 trip per bulan dari 200 pengiriman membutuhkan 14 truk.

“Artinya, dulu cuma butuh 8 jadi butuh 14, kebutuhan ini cuma dapat 15 trip dari 25 rit, itu menurun, penghasilan menurun, permintaan meningkat. Mobilnya dibutuhkan industri tapi aktivitasnya tidak untung,” ungkapnya.

Dari segi industri terangnya, tidak ada untungnya menjadi supir truk dalam kondisi semacam ini. Adanya tambahan kebutuhan yang didorong atas dasar inefisiensi seperti lamanya bongkor muat ataupun kemacetan.

“Kita minta ke pemerintah cetak pengemudi baru buat sekolah, pelatihan-pelatihan, kemacetan dicarikan solusinya belum ada yang membuahkan hasil, tol eleveted Jakarta-Cikampek belum terlihat hasilnya, MRT belum ada dampaknya, tol Japek makin parah, tol Transjawa masih belum optimal, mahal,” ujarnya.


Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News dan WA Channel

Konten Premium

Dapatkan informasi komprehensif di Bisnis.com yang diolah secara mendalam untuk menavigasi bisnis Anda. Silakan login untuk menikmati artikel Konten Premium.

Artikel Terkait

Berita Lainnya

Berita Terbaru

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

# Hot Topic

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Rekomendasi Kami

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Foto

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Scan QR Code Bisnis Indonesia e-paper