Bisnis.com, JAKARTA – Tren relokasi pabrik akibat dampak perang dagang antara Amerika Serikat (AS) dan China menjadi peluang bagi Indonesia untuk menguatkan industri manufaktur.
“Dengan trade war itu, kita melihat belakangan ini mulai banyak perpindahan pabrik dari Malaysia, Thailand, China, Taiwan, dan Vietnam,” ujar Menteri Perindustrian Airlangga Hartarto, dalam keterangan resmi, Kamis (1/8/2019).
Menurutnya, beberapa produsen skala global yang telah merealisasikan investasinya adalah industri elektronika. Adapun sektor lainnya yang akan menyusul di antaranya industri tekstil, garmen, dan alas kaki.
Airlangga mengatakan terjadinya pertumbuhan di sektor industri, selama ini konsisten berdampak berganda pada perekonomian nasional. “Adanya investasi masuk, tentu akan membuka lapangan pekerjaan.”
Kemenperin mencatat, investasi di sektor industri manufaktur pada tahun 2014 sebesar Rp195,74 triliun, naik menjadi Rp226,18 triliun di tahun 2018. Serapan tenaga kerja di sektor industri juga ikut meningkat, yakni dari 15,54 juta orang pada tahun 2015 menjadi 18 juta orang di tahun 2018.
“Pengembangan industri di Indonesia masih prospektif karena kita punya pasar yang sangat besar. Ini menjadi insentif yang tidak dimiliki oleh negara lain. Kita juga punya tenaga kerja yang kompetitif,” kata Airlangga.
Dia berharap peningkatkan kapasitas produksi akan mendorong industri lebih gencar mengisi pasar global. Peningkatan ekspor dengan mengoptimalkan utilisasi industri dan memperluas pasar luar negeri menjadi salah satu solusi untuk mengatasi defisit neraca perdagangan.
Dalam empat tahun terakhir, ekspor industri pengolahan nonmigas terus meningkat. Pada 2015, nilai ekspor produk manufaktur mencapai US$108,6 miliar, naik menjadi US$110,5 miliar di tahun 2016.
Kemudian, pada 2017, pengapalan produk nonmigas tercatat di angka US$125,1 miliar, melonjak hingga US$130 miliar di tahun 2018 atau naik sebesar 3,98 persen. Kontribusi ekspor produk manufaktur mencapai 72,25 persen.