Bisnis.com, JAKARTA – Sektor sumber daya alam (SDA) dianggap paling rawan terjadinya praktik pelanggaran. Sejumlah kejanggalan mulai dari suap dan ketidakpatuhan dalam pembayaran ke penerimaan negara kerap ditemukan dalam praktik bisnis di sektor tersebut.
Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) dalam Nota Sintesis: Evaluasi Gerakan Nasional Penyelamatan Sumber Daya Alam (SDA) yang diterbitkan pertengahan bulan ini mengungkapkan praktik korupsi yang marak dalam pengelolaan SDA telah mengakibatkan hilangnya baik potensi peneriman negara maupun kekayaan negara.
Di sektor pertambangan mineral dan batu bara (minerba) misalnya, KPK pernah mencatat kekurangan pembayaran pajak tambang di kawasan hutan sebesar Rp15,9 triliun per tahun.
Sementara itu hingga tahun 2017, koordinasi dan supervisi (Korsup) yang digawangi KPK mengungkapkan bahwa tunggakan penerimaan negara bukan pajak (PNBP) di sektor minerba mencapai Rp25,5 triliun.
Tak hanya itu, kajian tersebut juga menjelaskan bahwa dari 7.519 izin usaha pertambangan yang tercatat di Ditjen Pajak, 84% di antaranya tidak memiliki Nomor Pokok Wajib Pajak (NPWP).
Adapun, di sektor perkebunan sawit, KPK juga menemukan sekitar Rp18,13 triliun potensi pajak yang tidak terpungut oleh pemerintah. Potensi pajak di sektor ini sebesar Rp40 triliun, namun pemerintah hanya mampu memungut sebesar Rp21,87 triliun.
Baca Juga
Hal ini disebabkan oleh rendahnya tingkat kepatuhan Wajib Pajak (WP), dengan tingkat kepatuhan WP Orang Pribadi hanya 6,3% dan WP Badan masih berada di tingkat 46,3%.
Deputi Pencegahan KPK Pahala Nainggolan mengungkapkan, otoritas terkait perlu memperhatikan soal potensi dan kerawanan di sektor tersebut. Apalagi bentuk-bentuk permasalahan di sektor tersebut cukup besar.
Pertambangan minerba terutama baru bara misalnya, sangat sulit diidentifikasi dan rawan terjadinya praktik-praktik penggelapan pajak.
“Ya untuk transfer pricing cukup rawan, karena di batu bara juga ada kalori. Jadi mereka bisa bermain di situ, terutama perusahaan 8 besar yang generasi pertama,” ungkap Pahala kepada Bisnis.com, Senin (29/7/2019).
Pahala menyebut lemahnya pengawasan terhadap sektor batu bara menjadi persoalan yang perlu diperhatikan pemerintah. Ekspor sawit jauh lebih mudah diidentifikasi, sedengakan batu bara sangat sulit dilihat karena ada beberapa kebijakan khusus yang membuat pemerintah sulit untuk memetakan potensi kerawanan di sektor tersebut.
Oleh kerena itu, menurutnya, perlu sinkroniasasi data antara instansi terkait. Apalagi dengan adanya rezim Izin Usaha Pertambangan (IUP), pemerintah perlu memastikan bahwa setiap perusahaan yang mendapatkan izin juga sudah terdaftar sebagai wajib pajak atau punya NPWP .
KPK sendiri mengaku pernah berkoordinasi dengan otoritas pajak untuk memetakan persoalan di sektor tersebut. Ditjen Pajak juga disebutnya telah menindaklajuti kajian yang telah dilakukan oleh lembaga antikorupsi tersebut.
“Cuma persoalannya, yang meningkat itu yang mana? Risiko korupsi di batu bara cukup besar ada persoalan izin, royalti, transfer pricing juga ada,” tegasnya.
Adapun soal sawit, Pahala menyebut untuk memetakan berapa kewajiban pajak perusahaan sawit cukup mudah. Pasalnya otoritas pajak seharusnya mengetahui peta persebaran kepemilikan perkebunan sawit yang bisa dilihat dari hak guna usaha (HGU)–nya. Ditjen Pajak diminta untuk tidak pandang bulu melakukan untuk meminimalisir hilangnya potrensi penerimaan pajak.
“Masak kantor wilayah [Kanwil] itu tidak tahu HGU-nya punya siapa. Tempelin aja di alat di pengolahan kelapa sawit [PKS]-nya, enggak peduli siapun, pokoknya digiling jadi CPO, misalnya CPO ini biaya produksinya 40% berarti bayar pajak segini. Terserah siapa pemiliknya,” tegasnya.
KPK berkeyakinan ada potensi penggelapan penerimaan negara yang dilakukan oleh perusahaan CPO dengan modus adanya ketidaksesuaian antara HGU dengan produksinya. “Mereka bisa bilang HGU-nya 20.000, dia nanem di sekitarnya jadilah 30.000, belum sawit rakyat. Kan yang dikenakan pajak hanya HGU-nya saja,” jelasnya.
Direktur Penyuluhan Pelayanan dan Hubungan Masyarakat (P2 Humas) Ditjen Pajak Hestu Yoga Saksama mengaku belum membaca laporan tersebut, sehingga memutuskan untuk tidak berkomentar.