Rendahnya rasio pajak selain imbas dari ketidakmampuan ‘perangkat’ yang dimiliki otoritas pajak untuk meng-capture dinamika ekonomi yang terjadi saat ini, juga terkait dengan transformasi ekonomi Indonesia yang tak pernah tuntas.
Ketergantungan terhadap komoditas masih begitu besar, sedangkan sektor manufaktur yang menjadi sokoguru penerimaan pajak, justru baik dari sisi pertumbuhan maupun kontribusinya ke produk domestik bruto (PDB) terus menunjukkan pelemahan.
“Kalau lihat kontribusinya, industri manufaktur merupakan yang paling besar. Maka kalau industri manufaktur mengalami tekanan, akan terasa sekali di dalam penerimaan kita,” ungkap Menteri Keuangan Sri Mulyani Indrawati di Menara Astra, pekan lalu.
Laporan terbaru Organisasi untuk Kerja Sama Ekonomi dan Pembangunan (OECD) dalam bentuk Revenue Statistics in Asian and Paicific Economies 2019 yang diterbitkan pekan lalu menjadi indikasi awal untuk mengurai ketidakelastisan antara pertumbuhan ekonomi dan penerimaan pajak.
Dengan angka 11,5%, dihitung dari basis data 2017 rasio pajak Indonesia menempati posisi paling buncit dibandingkan dengan 17 negara kawasan Asia Pasifik. Bahkan, Indonesia masih kalah dengan Tokelau atau Vanuatu, dua negara di kawasan pasifik yang jika dilihat di peta global, luasnya jauh lebih kecil dari pulau Jawa.
Baca Juga
Lantas apa yang membuat rasio pajak Indonesia masih sangat rendah? (baca halaman selanjutnya)