Bisnis.com, JAKARTA—Pemerintah dan DPR RI dinilai turut memiliki tanggung jawab atas capaian produksi siap jual atau lifting minyak dan gas yang jauh dari target APBN 2019.
Direktur Eksekutif Reforminer Insititute Komaidi Notonegoro mengatakan dalam menetapkan target lifting APBN, angka yang muncul terkesan condong ke target politis yang kurang mempertimbangkan aspek bisnis. Menurutnya, melihat kondisi lapangan migas nasional yang sedang mengalami penurunan produksi alamiah, tidak bisa sepenuhnya kontraktor disalahkan atas capaian kinerja yang jauh dari target.
"Seperti yang kita tahu, secara alamiah terjadi penurunan produksi di lapangan Pertamina. Soal target, biasanya yang ditetapkan itu, angka politis bukanlah bisnis. Yang biasanya tidak bisa menghindar itu BUMN," katanya, ketika dihubungi Bisnis, Senin (29/7/2019).
PT Pertamina (Persero) sebagai perusahaan pelat merah, lanjut Komaidi, akan sulit menyangga target yang dicanangkan pemerintah.
"Ini kerja seluruh stakeholders, tidak hanya dibebankan ke kontraktor saja," tambahnya.
Hingga Juni 2019, tercatat realisasi lifting minyak sebesar 752.011 barrel oil per day (BOPD) atau 97 persen dari target APBN 2019. Untuk salur gas, tercatat 5.913 mmscfd per Juni 2019 atau 84 persen dari target.
Baca Juga
Sementara itu, pemerintah mengingatkan kepada Kontraktor kontrak kerja sama (KKKS) minyak dan gas bumi di Indonesia untuk segera berbenah mengoptimalkan kegiatan operasi migas. Pasalnya, kinerja 6 dari 10 kontraktor minyak terbesar belum mencapai target lifting yang ditetapkan oleh SKK Migas pada semester I/2019.
"10 besar ada 6 KKKS yang lifting (minyak) turun. Dan dari 6 itu 5 adalah [milik] Pertamina, yaitu Pertamina EP, PHM, PHE OSES, PH ONWJ dan PKHT. Ini memang menjadi concern, " kata Kepala SKK Migas Dwi Sutjipto, Senin (29/7/2019).
Kinerja serupa juga dialami pada lifting gas terutama pada pengelolaan Blok Mahakam. Lebih lanjut, Kementerian ESDM berharap kepada Pertamina mengevaluasi dan mencari terobosan mengatasi masalah tersebut.
Dwi mengatakan permasalahan lifting migas yang harus secepat mungkin ditangani oleh Pertamina. "Aspek implementasi teknologi, terutama transfer of knowladge dan proses investasi yang mesti harus jalan cukup cepat. Kita harapkan nanti manajemen dan pegawai Pertamina bisa lebih fokus perbaiki kinerja," jelasnya.
SKK Migas mencatat penurunan lifting gas juga dipengaruhi oleh rendahnya penyerapan kargo berlebih di Muara Bakau yang tidak jadi dijual Pertamina sebagai pengelola kilang LNG Bontang.