Bisnis.com, JAKARTA - Draf rancangan revisi UU PPh dinilai belum mempertegas sistem perpajakan seperti apa yang akan diusung oleh pemerintah.
Direktur Eksekutif Center for Indonesia Taxation Analysis (CITA) Yustinus Prastowo menanggapi positif rencana revisi Undang-Undang Pajak Penghasilan (PPh) tersebut.
Namun demikian, Prastowo menganggap bahwa rancangan UU yang sedang beredar saat ini belum mempertegas apakah sistem perpajakan yang akan diusung mengacu ke sistem world wide atau teritorial.
"Ini kok belum tegas, mau beralih ke world wide atau teritorial," ungkap Prastowo, Selasa (23/7/2019).
Menurut Prastowo, penentuan skema ini akan memiliki implikasi yang lebih besar. Pasalnya, pemilihan terhadap salah satu konsep tersebut bisa mengubah konsep pemajakan penghasilan dari luar negeri misalnya tentang Controlled Foreign Company (CFC) rules maupun penghasilan dari luar negeri lainnya.
"Memang kita harus menentukan," tegasnya.
Adapun selain poin tersebut, Prastowo juga menyoroti pasal-pasal tentang perluasan objek, memperjelas biaya-biaya yang boleh jadi pengurang, perbaikan skema bracket dan tarif PPh OP, serta memperjelas biaya-biaya yang tidak diperbolehkan.
Baca Juga
"Kalau PPh mungkin soal subjek itu supaya meng-capture digitalisasi ekonomi, khususnya soal BUT," tegasnya.
Selain tentang tarif, pembahasan revisi Undang-Undang Pajak Penghasilan (PPh) juga mencakup pembahasan mengenai perluasan obyek pajak yang nantinya akan menjadi lahan perburuan baru bagi otoritas pajak.
Dalam draf revisi UU PPh yang diterima Bisnis.com, jumlah obyek pajak penghasilan yang nantinya akan dipungut membengkak dari 19 menjadi 25 objek PPh. Selain itu, rancangan UU itu juga mempertegas perlakuan pemajakan terhadap bentuk usaha tetap atau BUT dan transaksi ekonomi digital.