Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

APSyFI : Gagal Bayar Anak Usaha Duniatex Jadi Cerminan Kondisi Industri Tekstil

APSyFI menilai kasus gagal bayar ini menjadi cerminan awal kondisi industri TPT saat ini. Jika industri tidak segera diselamatkan, perusahaan lain bisa menyusul.
ilustrasi pekerja pabrik tekstil./JIBI-Nurul Hidayat
ilustrasi pekerja pabrik tekstil./JIBI-Nurul Hidayat

Bisnis.com, JAKARTA — Kasus gagal bayar bunga dan pokok surat utang yang menimpa anak usaha Duniatex, Delta Dunia Sandang Tekstil, menjadi perhatian pelaku industri sektor tekstil.

Redma Gita Wirawasta, Sekretaris Jenderal Asosiasi Produsen Serat dan Benang Filamen Indonesia (APSyFI), mengatakan asosiasi tidak mengetahui secara persis masalah utama yang menimpa Duniatex. Namun, dari kondisi industri tekstil dan produk tekstil (TPT) saat ini, katanya, bisa dipastikan perusahaan tersebut kesulitan dalam menjual produknya karena pasar dipenuhi produk impor.

“Kalau susah jualan, perusahaan kesulitan bayar cicilan pinjaman. Kasus gagal bayar Duniatex menjadi cerminan awal kondisi industri TPT saat ini, kalau tidak segera diselamatkan, perusahaan lain akan menyusul,” katanya, Senin (22/7/2019).

Redma mengatakan Duniatex merupakan produsen benang dengan kapasitas terbesar di Indonesia, yaitu sebesar 2 juta mata pintal per tahun. Kondisi gagal bayar memang baru terjadi pada Duniatex Group, tetapi dia menyatakan beberapa perusahaan tekstil memutuskan kontrak tenaga kerja tidak tetap.

Sekitar 35.000 tenaga kerja kontraknya tidak diperpanjang, terlebih setelah Lebaran lalu karena permintaan serat dan benang filamen terus melemah.

Menurutnya, produsen kain tenun dan rajut, yang merupakan pengguna benang filamen, mengonfirmasi bahwa mereka kesulitan menjual produknya karena banjirnya kain-kain impor dipasar domestik.

Kondisi ini memaksa anggota APSyFI kembali memangkas produksinya sebesar 20%. “Sektor pembuatan benang dan produksi kain juga utilisasinya rata-rata hanya sekitar 50%-55%” kata Redma.

Kenaikan impor tekstil yang cukup signifikan terlihat selama 2018, impor melonjak sebesar 13,9% secara tahunan dari US$8,8 miliar ke US$10,02 miliar dan menyebabkan neraca perdagangan turun sebanyak 25,6% yoy dari US$4,3 miliar menjadi US$3,2 miliar.

APSyFI pun menyayangkan sektor industri yang menjadi prioritas dalam menghasilkan devisa dan menyerap tenaga kerja justru memperlihatkan kinerja yang sebaliknya. Redma meminta agar Presiden Joko Widodo turun tangan dan dengan tegas menyelamatkan industri TPT.

Hal senada juga disampaikan oleh Ketua Umum Ikatan Ahli Tekstil Seluruh Indonesia (Ikatsi) Suharno Rusdi. Dia mengatakan anggota asosiasi yang tersebar di seluruh industri tekstil melaporkan rerata tingkat utilisasi produksi pasca Lebaran hanya 50%.

Hal ini disebabkan perusahaan kesulitan menjual produknya, baik di pasar domestik, maupun pasar ekspor. "Bahkan, beberapa di antaranya telah mengurangi jumlah karyawannya," ujarnya.

Ikatsi menuding Peraturan Menteri Perdagangan (Permendag) Nomor 64/2017 yang memberikan akses impor tanpa kontrol kepada pemegang API-U atau pedagang melalui Pusat Logistik Berikat (PLB) sebagai penyebab utama keterpurukan industri tekstil saat ini.

Selama 2018, impor TPT naik 13,9% secara tahunan dari US$8,8 miliar ke US$10,02 miliar dan menyebabkan neraca perdagangan turun sebesar 25,6% yoy menjadi US$3,2 miliar.

Pada aturan sebelumnya, yaitu Permendag Nomor 85/2015, diatur bahwa yang boleh mengimpor adalah produsen (API-P) untuk kepentingan bahan baku sendiri.

Seperti diberitakan sebelumnya, anak usaha Duniatex, Delta Dunia Sandang Tekstil baru saja dikabarkan gagal membayar bunga dan pokok surat utang dengan total nilai US$11 juta. S&P Global Ratings pun memutuskan untuk memangkas peringkat utang perusahaan sebesar 6 level.

Sebanyak 10 bank tercatat sebagai kreditur anak usaha Duniatex Group, PT Duta Merlin Dunia Textile (DMDT). J.P Morgan mencatat kredit yang disalurkan oleh bank tersebut DMDT sepanjang 2018 sebesar Rp5,25 triliun dan US$362,3 juta. Sebanyak 58% di antaranya merupakan kredit sindikasi.


Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News dan WA Channel

Konten Premium

Dapatkan informasi komprehensif di Bisnis.com yang diolah secara mendalam untuk menavigasi bisnis Anda. Silakan login untuk menikmati artikel Konten Premium.

Artikel Terkait

Berita Lainnya

Berita Terbaru

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

# Hot Topic

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Rekomendasi Kami

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Foto

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Scan QR Code Bisnis Indonesia e-paper