Bisnis.com, JAKARTA - Kalangan dunia usaha meminta pemerintah untuk mengurangi jumlah restriksi investasi dalam daftar negatif investasi (DNI).
Seperti diketahui, DNI diatur melalui Peraturan Presiden (Perpres) No. 44/2016 tentang Daftar Bidang Usaha yang Tertutup dan Bidang Usaha yang Terbuka Dengan Persyaratan di Bidang Penanaman Modal.
Dalam paket kebijakan ekonomi XVI yang dicanangkan November tahun lalu, disebutkan bahwa untuk meningkatkan daya saing investasi diperlukan relaksasi daftar negatif investasi (DNI) melalui pembukaan beberapa bidang usaha yang dapat dimasuki oleh penanaman modal asing (PMA).
Wakil Ketua Asosiasi Pengusaha Indonesia (Apindo) Shinta W. Kamdani mengatakan, jumlah restriksi investasi perlu dikurangi baik dalam hal jumlah industri yang termasuk dalam DNI, tingkat persentase foreign equity participantship (FEP), jumlah serta kompleksitas perizinan, dan kewajian-kewajiban bagi investor.
Selain itu, grandfather clause juga perlu diberikan dalam rangka melindungi investor eksisting untuk mempertahankan dan mengembangkan investasi di Indonesia.
Lebih lanjut, investasi juga perlu diarahkan untuk memenuhi kebutuhan investasi yang diperlukan industri dalam rangka meningkatkan skala ekonomi, adopsi teknologi, pengembangan SDM, dan efisiensi produksi.
"Paradigma DNI bukan lagi pada proteksi industri yang rawan atau belum berkembang di dalam negeri, tapi untuk memenuhi kebutuhan investasi yang diperlukan oleh industri di dalam negeri," ujar Shinta kepada Bisnis.com, Kamis (18/7/2019).
Terakhir, relaksasi DNI juga perlu menambahkan definisi baru untuk persyaratan kerja sama kemitraan antara asing dan pelaku usaha lokal.
"Selama ini klausul kemitraan dengan usaha lokal dan UMKM terpusat pada kemitraan penyertaan modal," kata Shinta.
Kewajiban tersebut justru menyebabkan investasi yang wajib menjalin kemitraan dengan pengusaha lokal atau UMKM tersebut malah terhambat karena UMKM tidak memiliki kontribusi modal yang besar.
Oleh karena itu, kemitraan dengan usaha lokal harus dibuat lebih fleksibel melalui pelibatan dalam rantai suplai atau inkubator bisnis yang menguntungkan dengan investasi.
Dengan ini, investasi tetap bisa masuk dan kemitraan pun tetap berjalan secara konstruktif.
Adapun sektor-sektor yang perlu diprioritaskan dalam relaksasi DNI, menurut Shinta, antara lain industri yang dapat menciptakan substitusi impor seperti perkebunan non-sawit serta industri dasar lain seperti besi baja dan kimia hulu.
Industri yang berorientasi ekspor serta manufaktur yang berbasis teknologi juga perlu diprioritaskan dalam rangka mendukung industri 4.0.
Terakhir, industri yang masih didominasi oleh pengusaha lokal serta BUMN juga perlu direlaksasi. "Agar sektor-sektor ini tidak hanya jago kandang dan menjadi lebih efisien dan kompetitif," katanya.