Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Bisakah Diversifikasi Pangan Pokok Diwujudkan Lewat BPNT?

Ambisi pemerintah dalam mewujudkan kebijakan diversifikasi bahan pangan sebagai bentuk ketahanan pangan sejatinya telah digaungkan sejak lama. 
Sagu, sumber pangan dan energi./Ilustrasi-Antara
Sagu, sumber pangan dan energi./Ilustrasi-Antara

Bisnis.com, JAKARTA — Ambisi pemerintah dalam mewujudkan kebijakan diversifikasi bahan pangan sebagai bentuk ketahanan pangan sejatinya telah digaungkan sejak lama. 

Hal itu tak lepas dari kebijakan pada masa Presiden Soeharto dalam mewujudkan swasembada pangan nasional. Sayangnya, ketika kebijakan itu diambil dengan cara penyeragaman komoditas pangan nasional, yakni menggunakan beras.

Tak heran, jika ketergantungan Indonesia terhadap beras hingga saat ini sebagai bahan pangan pokok sangat tinggi. Meskipun, preferensi konsumsi karbohidrat masyarakat Indonesia sesuai budayanya sangat beragam, yakni mulai dari singkong,sagu hingga jagung.

Pemerintah pun sejatinya menyadari, ketergantungan pada satu jenis komoditas pangan kurang baik untuk mewujudkan kebijakan ketahanan pangan. Segala upaya dalam mendorong diversifikasi pangan pun terus digalakkan oleh pemerintah. 

Hal itu salah satunya diperkuat oleh pemerintah sendiri ketika menerbitkan Peraturan Pemerintah No.68/2002 tentang Ketahanan Pangan.

Di Bab VI pasal 9 tentang Penganekaragaman Pangan, disebutkan bahwa penganekaragaman pangan diselenggarakan untuk meningkatkan ketahanan pangan dengan memperhatikan sumber daya, kelembagaan dan budaya lokal. 

Namun, upaya tersebut sejauh ini tampaknya masih jalan di tempat. Berdasarkan riset bertajuk Calorie Intake and Physical Study yang dilakukan Helda Khusun pada 2017, konsumsi karbohidrat masyarakat Indonesia masih didominasi oleh nasi putih sebanyak 97%, sementara untuk komoditas umbi-umbian hanya sebesar 3%.

Kini, upaya yang relatif baru ditempuh oleh pemerintah dalam rangka menggalakkan diversifikasi pangan nasional. Melalui program bantuan pangan nontunai (BPNT), pemerintah berusaha untuk menyediakan pangan mengandung karbohidrat untuk keluarga penerima manfaat, yang disesuaikan dengan preferensi dan kearifan lokal masing-masing daerah.

Menteri Sosial Agus Gumiwang mengatakan, pemerintah tengah melakukan kajian untuk menyediakan bahan pangan selain beras untuk masyarakat di beberapa daerah yang menerima BPNT. Komoditas pangan itu a.l. sagu dan jagung.

“Kita ingin menyediakan banyak pilihan pangan yang dapat diakses masyarakat sesuai preferensi konsumsinya dan kebudayaan lokal. Saat ini kami masih melakukan kajian bagaimana proses distribusi dan penyediaan bahan pangan tersebut dengan menggandeng Perum Bulog (Persero),” ujarnya pekan lalu.

Dia mewacanakan, selain menyediakan beras, outlet penyalur BPNT juga menyediakan bahan pangan mengandung karbohidrat lain. Dia mencontohkan, untuk daerah Papua dan sebagian daerah Indonesia bagian Timur, outlet BPNT juga menyediakan sagu untuk dibeli oleh keluarga penerima manfaat (KPM) BPNT. Hal serupa juga dilakukan untuk daerah Madura, dengan menyediakan jagung sebagai pendamping beras.

 “Langkah ini merupakan perwujudan dari misi program BPNT yang menyediakan bahan pangan yang layak sesuai dengan kebutuhan dan keinginan masyarakat di setiap daerah,” lanjutnya.

Wacana itu, menurutnya akan diperkuat oleh kehadiran Bulog yang diperkenankan pemerintah sebagai manajer suplai untuk bahan pangan di program BPNT mulai semester II/2019. 

Setali tiga uang, Direktur Utama Bulog Budi Waseso pun menyatakan kebijakan tersebut merupakan upaya yang dihadirkan pemerintah untuk mengakomodasi kebutuhan konsumen dan pertanian di luar padi. Untuk itu Bulog siap apabila ditunjuk untuk mengaplikasikan wacana pemerintah tersebut. 

“Kami siap menjadi manajer suplai pangan mengandung karbohidrat selain beras. Sebab, kami sadar konsumen perlu dilayani dengan baik sesuai preferensinya. Selain itu kami juga ingin membantu petani sagu dan jagung untuk memasarkan produknya,” jelasnya.

Dia bahkan mewacanakan, selain sagu dan jagung, Bulog juga siap untuk membantu menyerap dan mendistribusikan singkong ke beberapa daerah dengan preferensi konsumsi produk tersebut. Dia menyebutkan, konsumen BPNT di daerah seperti Gunung Kidul, memiliki potensi untuk menyerap singkong. 

Terkait dengan potensi serapan beras yang berkurang akibat adanya peralihan konsumsi pangan berbahan karbohidrat dari beras menuju komoditas lain, Budi mengaku tidak khawatir. Dia meyakini, pada tahun ini 750.000 ton beras Bulog yang disediakan untuk BPNT masih akan terserap dengan maksimal.

“Tahun ini kami yakni, 750.000 ton beras masih akan diserap maksimal oleh masyarakat. Konsumsi jagung, sagu dan singkong di BPNT tahun ini mungkin masih kecil, dan kebijakan ini masih pilot project.  Ke depannya, kami akan hitung ulang tentunya berapa banyak kebutuhan beras, jagung, sagu dan singkong untuk BPNT yang akan kami sesuaikan dengan pemenuhan stok di gudang kami," ujarnya.

Anggota Pokja Ahli Dewan Ketahanan Pangan Pusat Kudhori mengatakan, wacana tersebut cukup tepat untuk mengatasi persoalan ketepatan sasaran pemenuhan bantuan sosial pemerintah.

Pasalnya, selama ini dengan penyediaan beras sebagai bahan pangan tunggal, untuk bantuan sosial, pemerintah mengabaikan kebutuhan konsumsi karbohidrat masyarakat di beberapa daerah yang sesuai dengan kebudayaannya.

“Namun yang patut diwaspadai adalah, nantinya bagaimana dampaknya kepada serapan beras Bulog. Apakah dengan adanya diversifikasi pangan untuk BPNT ini, akan membuat volume serapan beras petani oleh pemerintah ikut menurun,” katanya.

Apabila, kondisi itu terjadi, maka dia khawatir petani akan menjadi korban, lantaran Bulog tidak lagi berhasrta secara penuh untuk menyerap beras petani. Pasalnya, serapan beras atau gabah oleh Bulog selama ini menjadi instrumen untuk stabilisasi harga di tingkat petani.

Sementara itu, pengamat pangan Perhimpunan Ekonomi Pertanian Indonesia (Perhepi) Husein Sawit, kebijakan itu akan menjadi strategi baru bagi Bulog untuk mengurangi beban kewajiban menyerap beras atau gabah petani yang diinstruksikan oleh pemerintah. Terlebih selama ini, pemerintah cenderung membebankan proses pengamanan stok pangan nasional, terutama beras hanya kepada Bulog.

“Namun, yang patut diperhatikan, siap atau tidak Bulog dengan segala konsekuensinya, seperti penyediaan gudang khusus untuk sagu dan singkong. Penyerapan jagung saja yang selama ini dimandatkan pemerintah kepada Bulog, masih terkendala oleh teknologi pergudangan Bulog yang masih terbatas,” ujarnya.

Dia juga berharap, berkurangnya kewajiban Bulog untuk melakukan pengadaan beras ataug gabah untuk bantuan sosial, tidak mengurangi beban pemerintah untuk mengamankan serapan di tingkat petani. Sebab selama ini, instrumen pengamanan harga di tingkat petani masih bergantung kepada serapan Bulog, terutama kala panen raya.

Di sisi lain, kajian mengenai konsumsi bahan pangan nonberas juga harus dilakukan secara matang. Dia khawatir, apabila Bulog tergesa-gesa mengeksekusi kebijakan itu, rupanya tidak ditangkap dengan baik oleh pasar.

 "Jangan-jangan konsumen Indonesia sudah terlalu bergantung pada beras, sehingga pengeadaan pangan nonberas oleh Bulog, justru menjadi mubazir karena tidak terserap masyarakat, akibatnya menjadi kerugian juga buat Bulog," tambahnya.

Dengan demikian, ambisi penguatan diversifikasi pangan nasional sejatinya merupakan wacana yang baik oleh pemerintah. Namun, jangan sampai kebijakan ini justru menjadi bumerang bagi pengelolaan pangan nasional, terutama dalam menjaga kesejahteraan petani. 

 

 

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News dan WA Channel


Topik

Konten Premium

Dapatkan informasi komprehensif di Bisnis.com yang diolah secara mendalam untuk menavigasi bisnis Anda. Silakan login untuk menikmati artikel Konten Premium.

Artikel Terkait

Berita Lainnya

Berita Terbaru

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

# Hot Topic

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Rekomendasi Kami

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Foto

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Scan QR Code Bisnis Indonesia e-paper