Bisnis.com, JAKARTA - Rencana pemungutan iuran pariwisata melalui tiket pesawat dinilai akan menimbulkan efek negatif baik bagi para penumpang maupun maskapai.
Ketua Umum Indonesia National Air Carriers Association (INACA) Denon Prawiraatmadja mengatakan, iuran pariwisata yang sedang digagas oleh Kementerian Pariwisata dan Ekonomi Kreatif (Kemenparekraf) seharusnya tidak ditambahkan dalam komponen harga tiket pesawat.
Dia mengatakan, penumpang pesawat terdiri dari berbagai macam keperluan, di antaranya untuk keperluan bisnis, acara keluarga atau pribadi, keperluan dinas, keperluan pendidikan, keperluan liburan atau wisata dan lainnya. Sehingga, pariwisata dan wisatawan hanya salah satu dari berbagai jenis penumpang pesawat.
Denon mengatakan, masuknya iuran pariwisata dalam komponen tiket akan membuat harga tiket pesawat menjadi lebih mahal bagi penumpang. Selain itu, maskapai juga akan terkena dampak karena jumlah penumpang akan berkurang jika harga tiket dianggap mahal.
"Iuran pariwisata tidak seharusnya masuk jadi komponen harga tiket karena akan menjadi beban tambahan bagi penumpang dan maskapai penerbangan," jelas Denon dalam keterangan resminya, Kamis (25/4/2024).
Rencana pengenaan iuran pariwisata melalui tiket pesawat juga akan menghambat laju pemulihan industri penerbangan. Denon memaparkan, bisnis penerbangan saat ini tengah dalam kondisi rebound setelah terpuruk akibat pandemi Covid -19 pada periode 2020- 2022.
Baca Juga
Di sisi lain, kondisi tersebut juga dibayangi sejumlah kendala yang dihadapi maskapai penerbangan Indonesia. Sehingga, proses rebound tidak dapat berlangsung lancar jika dibandingkan dengan maskapai penerbangan internasional.
Dia menuturkan, permasalahan yang dihadapi maskapai Indonesia di antaranya adalah berkurangnya jumlah ketersediaan pesawat beserta suku cadang (spareparts) dan sumber daya manusia yang siap untuk dioperasikan.
Selain itu juga meningkatnya biaya operasi yang disebabkan oleh naiknya harga bahan bakar avtur dan nilai tukar mata uang Rupiah yang terus melemah terhadap mata uang dolar AS. Padahal, sekitar 70% biaya operasional penerbangan dipengaruhi oleh dolar AS, di antaranya terkait harga avtur, biaya sewa pesawat, biaya perawatan dan pengadaan spareparts dan lainnya.
Di sisi lain, Denon juga menyoroti tarif penerbangan yang hingga saat ini belum disesuaikan oleh pemerintah sejak 2019. Padahal, komponen biaya tarif penerbangan sudah meningkat dibandingkan dengan 5 tahun lalu.
Denon mencontohkan, kurs dolar AS dari tahun 2019 sebesar Rp14.102 dan tahun 2024 menjadi Rp16.182 atau meningkat 15%. Kemudian, harga jual minyak juga terus naik, pada 2024 telah mencapai US$87,48 per barrel atau meningkat 37% dibanding tahun 2019 yaitu US$64 per barrel.
“Pengenaan iuran pariwisata pada tiket pesawat akan kontraproduktif, karena dapat menyebabkan harga tiket naik, jumlah penumpang turun dan kondisi bisnis maskapai penerbangan juga turun sehingga program perluasan konektivitas transportasi udara dari pemerintah menjadi tidak tercapai,” pungkasnya.